Batu Pinabetengan

Tempat menerima Amanat yang dituakan "Nuwu i Tu'a".

Lesung Nawo Oki

Lesung peninggalan leluhur yang menjadi Identitas anak Suku Tonsawang.

Lesung Nawo Tambanas

Tempat yang dipercayai digunakan untuk Mandi sebelum melakukan pertempuran / berperang.

Sumur Abur

Sumur Abur yang merupakan tempat peninggalan leluhur Suku Tonsawang.

Lesung Nawo Pondalos

Pahasa tampa i manga matu-matua musti kalahan i manga poyog bo hiaha'anio.

Sabtu, 03 Januari 2015

Mengenal Suku Toundanouw/Tonsawang

Sebelum munculnya nama "Tonsawang", masyarakat yang berdiam diantara bagian selatan gunung soputan hingga pegunungan Wulur Mahatus, di zaman purba mereka menyebutkan dirinya "Toundanouw atau Tou-i-ndanouw". Tou artinya orang, i artinya dari/asal, dano artinya air. Orang yang berasal dari air. Yang dimaksudkan adalah orang-orang yang bermukim dibukit-bukit diantara danau yang pada zaman lampau seluruh daerah itu digenangi air atau danau. Setelah danau tersebut dialirkan kearah Negeri Belang, barulah daerah dataran yang tadinya digenangi air menjadi kering, lalu didirikan kampung-kampung seperti sekarang ini. Di samping bukit-bukit diantara danau tersebut, kelompok-kelompok masyarakat juga berdiam disekitar sungai Ranoyapo dan gunung atau bukit-bukit disekitarnya. Pada zaman dahulu, daerah Toundanouw meliputi batas Gunung Soputan sampai dengan daerah-daerah disekitar sungai Ranoyapo. Dengan adanya perubahan-perubahan batas oleh pemerintah Belanda, maka daerah Toundanouw atau Tombatu sekarang tinggal seluas kurang lebih 420 km persegi.

Pada zaman purba, bukit-bukit diantara danau dan sungai tersebut didiami oleh kelompok-kelompok masyarakat kecil yang diberi bermacam-macam oleh pendatang atau orang asing. Ada yang menyebutkan To-en-sawah, Tounsingin, Toulewo, dan Tounda. Nama Toundanouw adalah sebutan yang digunakan oleh orang-orang dari seluruh penduduk didaerah itu jika mereka bertemu satu dengan yang lainnya. Mereka pada umumnya tidak mengenal sebutan Toensawah, tounsingin, Toulewo dan Tounda. Dan sampai sekarang, istilah-istilah itu tidak populer didalam bahasa sehari-hari, mungkin orang-orang asing atau suku-suku lainnya yang menyebutkan orang-orang didaerah ini seperti itu, menurut pengenalan atau pengalaman yang mereka alami ketika bertemu atau berhadapan dengan orang-orang didaerah itu.

Dalam bahasa Toundanouw, yang disebut dengan Tounsingin adalah orang yang disegani (Tou artinya orang, singin dari kata ising artinya disegani atau ditakuti). Toulewo artinya orang jahat/orang bengis (Tou artinya orang, Lewo artinya Jahat/keras/bengis). Tounda artinya orang pemakan ikan (Tou artinya orang, Nda artinya Ikan). Tidak diketahui secara pasti mengapa timbul istilah-istilah tersebut, tetapi mungkin dalam masa lampau pernah terjadi perkelahian dengan orang-orang asing lainnya yang datang kedaerah ini untuk merampas hasil-hasil bumi atau mencoba melakukan perburuan binatang. Sangat mungkin mereka yang kalah dalam perkelahian lalu menyebutkan orang-orang didaerah itu dengan kata-kata atau istilah-istilah tersebut.

Nama Tonsawang adalah nama yang diberikan oleh pemerintah Belanda setelah mereka mengikat perjanjian atau kontrak dengan orang-orang Minahasa lainnya pada tanggal 10 Januari 1679 di Manado. Diantara walak-walak yang disebutkan dalam kontrak itu tercantum nama Tonsaban, yang mungkin ditujukan bagi daerah ini. Seperti disebutkan diatas, orang-orang didaerah ini pada zaman lampau tidak mengenal sebutan Tonsawah dan lain-lain. Menurut tulisan dalam catatan Boeng Dotulong-Diana Franz Rompis dalam Minahasa edite 2, April 1980 di Negeri Belanda, berarti sebagai berikut ; Tonsawang is ontstaan door hun gewoonte amslagenvlees te eten, de sawa of patola. Door ze op te sluiten in uitgeholde nibungstam (Caryota rumphiana, Mrt) en haar dan met geraspte kokosnoot, met te mesten. de patola (Pyton molerus, Dr.B) is in het Toulous "sawa" Tonseas "sawa makiasu", Pakewas Tumetongko" en Tombulus "kumekenan". se bewoonden de plaatsen on net meer van Tombatu en hebben een gorve lichaamsbouw (Minahasa,<van Pijkerenlaan 27 8097 VD Oldebroek, eindredactie Boeng Dotulong Diana Franz Rompis (suatu makalah) (Agustus 1984).

Dari uraian tersebut diatas, tampak menunjukan bahwa Tonsawah dan lain sebagainya itu, tidaklah asli ditemui didalam bahasa Toundanouw. bahasa Toundanouw yang disebut Patola bukan "patola,pakewas tumetongko, atau sawa makiasu ataupun kumeknan". Bahasa Toundanouw yang menunjuk Patola adalah Tupego bukan pakewas tumetongko atau sawa makiasu ataupun kumekenan. Tidak ada istilah itu dalam bahasa asli Toundanouw. Kata Sawang pun tidak dijumpai dalam bahasa Toundanouw pada zaman purba, yang dikenal istilah Mawasawang atau Mawasawa-sawang yang berarti "berteriak-teriak karena sakit atau takut sesuatu seperti melihat ular atau sesuatu yang asing" (Misalnya perasaan anak-anak yang takut menjumpai ular). Sumawang artinya berteriak, Sinawangan artinya tempat berteriak minta tolong. Kata Sawang berarti juga 
  • Sawang-Langit (Ruang diantara langit dan bumi), awang-awang; 
  • rimba sawang artinya rimba yang amat luas; pe(r)sawangan : tempat yang sunyi diantara dusun-dusun, tanah yang luas (yang tidak didiami orang)
  • Sawang juga berarti sarang laba-laba, kotoran yang melekat  di langit-langit rumah, dsb,-
  • Sawang juga berarti tumbuhan untuk obat kurap. (W.J.S. Purwardamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan ketiga, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1961 hal. 818)
Mengenai penduduk mula-mula yang berdiam di Toundanouw menurut cerita rakyat turun-temurun dikatakan bahwa jauh sebelum Lumimu'ut bermukim didaerah sebelah Barat dan Selatan Toundanouw telah ada orang-orang purba yang digambarkan bertubuh tinggi tetapi tidak terlalu tegap, berambut panjang dan berwajah agak menonjol kedepan, dengan tulang pipi menonjol dan berhidung pesek. Orang-orang tersebut bertempat tinggal di atas bukit-bukit dan hidup berburu dan menangkap ikan. kemungkinan cerita tersebut adalah merupakan penduduk asli sebagaimana yang diuraikan dalam pastingan saya terdahulu. Andaikata cerita tersebut dikaitkan dengan bukit-bukit kerang atau siput atau "kulit Kolombie atau Bia/Renga" yang ditemukan sewaktu pengurukan tanah dari bukit "Dahayu" di Tombatu ketika didirikan Sekolah Guru "B" tahun 1953, maka berarti pada zaman Mesolithicum telah ada orang-orang didaerah itu, yang kurang lebih sama dengan penemuan-penemuan di Sumatera Utara yang juga berasal dari Asia yang datang ke Indonesia umumnya dan Minahasa Khususnya dengan membawa budayanya.

Dengan datangnya orang-orang baru pada kira-kira 2000 SM yaitu pada zaman Neolithicum, maka penduduk asli tersebut terdesak ke daerah pedalaman. Orang-orang yang menjadi penduduk asli itu kemungkinan sisa-sisanya seperti KAREMA, sedangkan Lumimu'ut termasuk salah seorang dari rombongan orang-orang yang datang kemudian yaitu pada zaman Neolithicum tadi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, orang-orang yang datang pada zaman Neolithicum yaitu masa gelombang perpindahan pertamasebagian pergi ke Philipina, Taiwan, kepulauan Paskah, Andaman, Nikobar, Sailan sampai ke Madagaskar. Tentu saja perpindahan itu tidak terjadi sekaligus tetapi berlangsung berabad-abad lamanya.

Bangsa yang datang ke Philipina kemudian menyebar lagike daerah-daerah disekitarnya, antara lain ke Minahasa. Mereka yang ke Minahasa sebagian melebur dengan penduduk asli, tetapi sebagian lagi meninggalkan Minahasa lalu mengadakan penyebaran ke pulau-pulau disekitar Minahasa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Oleh karena bangsa pendatang baru tadi membawa budayanya pula, maka dengan percampuran dengan penduduk asli, lalu melahirkan pula budaya baru. Kebudayaan baru ini antara lain dalam bahasa sebagai salah satu unsurnya, bahkan termasuk unsur-unsur teknolgi atau kebudayaan phisik, seperti pembuatan bentuk-bentuk rumah atau tempat tinggal. Oleh karena itu beberapa sarjana bahasa mengatakan bahwa bahasa-bahasa di Minahasa pada umumnya merupakan rumpun bahasa Philipina. Demikian pula cerita tua turun-temurun didaerah Toundanouw (Tonsawang) menyatakan  bahwa sebagian orang-orang yang berdiam didaerahnya berasal dari Mindanow (Philipina). Sampai sekarang masih dapat diungkapkan suatu nyanyian yang menuturkan tentang adanya orang-orang Mindanow yang disebut oleh mereka "Mangindanow".

Dari perkawinan dengan penduduk asli dan pendatang baru tersebut melahirkan keturunan-keturunan yang berdiam dibukit-bukit disekitar danau Toundanouw. Keturunan mereka makin bertambah banyak dengan masuknya pula bangsa-bangsa baru yang datang pada kira-kira 500-200 SM, yang merupakan perpindahan bangsa-bangsa pada gelombang kedua. Bangsa-bangsa ini juga dikatakan dari Philipina dan Sangir dan karena terdapat banyak persamaan bahasa maupun Budaya sehingga mereka melebur dengan penduduk terdahulu. Bangsa-bangsa ini termasuk Malayu Muda yang menyebar ke Nusantara, yang juga datang dari Yunan lalu ke Philipina dan menyebar ke Nusantara. Mereka telah mengenal budaya yang lebih maju seperti tembikar ataupun perunggu. Walaupun demikian budaya perunggu masih sulit dibuktikan di Minahasa karena belum ada bekas-bekas yang dapat menunjukkan bahwa orang-orang tua masa lampau telah mengenal pembuatan barang termaksud. Hal inilah yang menyebabkan bangsa yang datang itu, lalu pergi lagi menyebar kepulau-pulau lainnya. Mungkin kepergian mereka disebabkan di Tanah Minahasa, mereka tidak menemukan sumber-sumber alam atau bahan-bahan mentah untuk pembuatan barang-barang tersebut sehingga mereka tidak dapat menegmbangkan budayanya. Walaupun demikian, tidak semua pendatang ini meninggalkan tanah minahasa, melainkan sebagian tetap melebur dengan penduduk sebelumnya, dan mereka itulah yang menjadi asalnya suku-suku di Minahasa, termasuk Suku Toundanouw (Tonsawang) kemudian.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More