Sebelum
munculnya nama "Tonsawang", masyarakat yang berdiam diantara bagian
selatan gunung soputan hingga pegunungan Wulur Mahatus, di zaman purba
mereka menyebutkan dirinya "Toundanouw atau Tou-i-ndanouw". Tou artinya
orang, i artinya dari/asal, dano artinya air. Orang yang berasal dari
air. Yang dimaksudkan adalah orang-orang yang bermukim dibukit-bukit
diantara danau yang pada zaman lampau seluruh daerah itu digenangi air
atau danau. Setelah danau tersebut dialirkan kearah Negeri Belang,
barulah daerah dataran yang tadinya digenangi air menjadi kering, lalu
didirikan kampung-kampung seperti sekarang ini. Di samping bukit-bukit
diantara danau tersebut, kelompok-kelompok masyarakat juga berdiam
disekitar sungai Ranoyapo dan gunung atau bukit-bukit disekitarnya. Pada
zaman dahulu, daerah Toundanouw meliputi batas Gunung Soputan sampai
dengan daerah-daerah disekitar sungai Ranoyapo. Dengan adanya
perubahan-perubahan batas oleh pemerintah Belanda, maka daerah
Toundanouw atau Tombatu sekarang tinggal seluas kurang lebih 420 km
persegi.
Pada
zaman purba, bukit-bukit diantara danau dan sungai tersebut didiami
oleh kelompok-kelompok masyarakat kecil yang diberi bermacam-macam oleh
pendatang atau orang asing. Ada yang menyebutkan To-en-sawah,
Tounsingin, Toulewo, dan Tounda. Nama Toundanouw adalah sebutan yang
digunakan oleh orang-orang dari seluruh penduduk didaerah itu jika
mereka bertemu satu dengan yang lainnya. Mereka pada umumnya tidak
mengenal sebutan Toensawah, tounsingin, Toulewo dan Tounda. Dan sampai
sekarang, istilah-istilah itu tidak populer didalam bahasa sehari-hari,
mungkin orang-orang asing atau suku-suku lainnya yang menyebutkan
orang-orang didaerah ini seperti itu, menurut pengenalan atau pengalaman
yang mereka alami ketika bertemu atau berhadapan dengan orang-orang
didaerah itu.
Dalam
bahasa Toundanouw, yang disebut dengan Tounsingin adalah orang yang
disegani (Tou artinya orang, singin dari kata ising artinya disegani
atau ditakuti). Toulewo artinya orang jahat/orang bengis (Tou artinya
orang, Lewo artinya Jahat/keras/bengis). Tounda artinya orang pemakan
ikan (Tou artinya orang, Nda artinya Ikan). Tidak diketahui secara pasti
mengapa timbul istilah-istilah tersebut, tetapi mungkin dalam masa
lampau pernah terjadi perkelahian dengan orang-orang asing lainnya yang
datang kedaerah ini untuk merampas hasil-hasil bumi atau mencoba
melakukan perburuan binatang. Sangat mungkin mereka yang kalah dalam
perkelahian lalu menyebutkan orang-orang didaerah itu dengan kata-kata
atau istilah-istilah tersebut.
Nama
Tonsawang adalah nama yang diberikan oleh pemerintah Belanda setelah
mereka mengikat perjanjian atau kontrak dengan orang-orang Minahasa
lainnya pada tanggal 10 Januari 1679 di Manado. Diantara walak-walak
yang disebutkan dalam kontrak itu tercantum nama Tonsaban, yang mungkin
ditujukan bagi daerah ini. Seperti disebutkan diatas, orang-orang
didaerah ini pada zaman lampau tidak mengenal sebutan Tonsawah dan
lain-lain. Menurut tulisan dalam catatan Boeng Dotulong-Diana Franz
Rompis dalam Minahasa edite 2, April 1980 di Negeri Belanda, berarti
sebagai berikut ; Tonsawang is ontstaan door hun gewoonte amslagenvlees
te eten, de sawa of patola. Door ze op te sluiten in uitgeholde
nibungstam (Caryota rumphiana, Mrt) en haar dan met geraspte kokosnoot,
met te mesten. de patola (Pyton molerus, Dr.B) is in het Toulous "sawa"
Tonseas "sawa makiasu", Pakewas Tumetongko" en Tombulus "kumekenan". se
bewoonden de plaatsen on net meer van Tombatu en hebben een gorve
lichaamsbouw (Minahasa,<van Pijkerenlaan 27 8097 VD Oldebroek,
eindredactie Boeng Dotulong Diana Franz Rompis (suatu makalah) (Agustus
1984).
Dari
uraian tersebut diatas, tampak menunjukan bahwa Tonsawah dan lain
sebagainya itu, tidaklah asli ditemui didalam bahasa Toundanouw. bahasa
Toundanouw yang disebut Patola bukan "patola,pakewas tumetongko, atau
sawa makiasu ataupun kumeknan". Bahasa Toundanouw yang menunjuk Patola
adalah Tupego bukan pakewas tumetongko atau sawa makiasu ataupun
kumekenan. Tidak ada istilah itu dalam bahasa asli Toundanouw. Kata
Sawang pun tidak dijumpai dalam bahasa Toundanouw pada zaman purba, yang
dikenal istilah Mawasawang atau Mawasawa-sawang yang berarti
"berteriak-teriak karena sakit atau takut sesuatu seperti melihat ular
atau sesuatu yang asing" (Misalnya perasaan anak-anak yang takut
menjumpai ular). Sumawang artinya berteriak, Sinawangan artinya tempat
berteriak minta tolong. Kata Sawang berarti juga
- Sawang-Langit (Ruang diantara langit dan bumi), awang-awang;
- rimba sawang artinya rimba yang amat luas; pe(r)sawangan : tempat yang sunyi diantara dusun-dusun, tanah yang luas (yang tidak didiami orang)
- Sawang juga berarti sarang laba-laba, kotoran yang melekat di langit-langit rumah, dsb,-
- Sawang juga berarti tumbuhan untuk obat kurap. (W.J.S. Purwardamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan ketiga, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1961 hal. 818)
Mengenai
penduduk mula-mula yang berdiam di Toundanouw menurut cerita rakyat
turun-temurun dikatakan bahwa jauh sebelum Lumimu'ut bermukim didaerah
sebelah Barat dan Selatan Toundanouw telah ada orang-orang purba yang
digambarkan bertubuh tinggi tetapi tidak terlalu tegap, berambut panjang
dan berwajah agak menonjol kedepan, dengan tulang pipi menonjol dan
berhidung pesek. Orang-orang tersebut bertempat tinggal di atas
bukit-bukit dan hidup berburu dan menangkap ikan. kemungkinan cerita
tersebut adalah merupakan penduduk asli sebagaimana yang diuraikan dalam
pastingan saya terdahulu. Andaikata cerita tersebut dikaitkan dengan
bukit-bukit kerang atau siput atau "kulit Kolombie atau Bia/Renga" yang
ditemukan sewaktu pengurukan tanah dari bukit "Dahayu" di Tombatu ketika
didirikan Sekolah Guru "B" tahun 1953, maka berarti pada zaman
Mesolithicum telah ada orang-orang didaerah itu, yang kurang lebih sama
dengan penemuan-penemuan di Sumatera Utara yang juga berasal dari Asia
yang datang ke Indonesia umumnya dan Minahasa Khususnya dengan membawa
budayanya.
Dengan
datangnya orang-orang baru pada kira-kira 2000 SM yaitu pada zaman
Neolithicum, maka penduduk asli tersebut terdesak ke daerah pedalaman.
Orang-orang yang menjadi penduduk asli itu kemungkinan sisa-sisanya
seperti KAREMA, sedangkan Lumimu'ut termasuk salah seorang dari
rombongan orang-orang yang datang kemudian yaitu pada zaman Neolithicum
tadi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, orang-orang yang datang pada
zaman Neolithicum yaitu masa gelombang perpindahan pertamasebagian pergi
ke Philipina, Taiwan, kepulauan Paskah, Andaman, Nikobar, Sailan sampai
ke Madagaskar. Tentu saja perpindahan itu tidak terjadi sekaligus
tetapi berlangsung berabad-abad lamanya.
Bangsa
yang datang ke Philipina kemudian menyebar lagike daerah-daerah
disekitarnya, antara lain ke Minahasa. Mereka yang ke Minahasa sebagian
melebur dengan penduduk asli, tetapi sebagian lagi meninggalkan Minahasa
lalu mengadakan penyebaran ke pulau-pulau disekitar Minahasa dan
pulau-pulau lainnya di Indonesia. Oleh karena bangsa pendatang baru tadi
membawa budayanya pula, maka dengan percampuran dengan penduduk asli,
lalu melahirkan pula budaya baru. Kebudayaan baru ini antara lain dalam
bahasa sebagai salah satu unsurnya, bahkan termasuk unsur-unsur teknolgi
atau kebudayaan phisik, seperti pembuatan bentuk-bentuk rumah atau
tempat tinggal. Oleh karena itu beberapa sarjana bahasa mengatakan bahwa
bahasa-bahasa di Minahasa pada umumnya merupakan rumpun bahasa
Philipina. Demikian pula cerita tua turun-temurun didaerah Toundanouw
(Tonsawang) menyatakan bahwa sebagian orang-orang yang berdiam
didaerahnya berasal dari Mindanow (Philipina). Sampai sekarang masih
dapat diungkapkan suatu nyanyian yang menuturkan tentang adanya
orang-orang Mindanow yang disebut oleh mereka "Mangindanow".
Dari
perkawinan dengan penduduk asli dan pendatang baru tersebut melahirkan
keturunan-keturunan yang berdiam dibukit-bukit disekitar danau
Toundanouw. Keturunan mereka makin bertambah banyak dengan masuknya pula
bangsa-bangsa baru yang datang pada kira-kira 500-200 SM, yang
merupakan perpindahan bangsa-bangsa pada gelombang kedua. Bangsa-bangsa
ini juga dikatakan dari Philipina dan Sangir dan karena terdapat banyak
persamaan bahasa maupun Budaya sehingga mereka melebur dengan penduduk
terdahulu. Bangsa-bangsa ini termasuk Malayu Muda yang menyebar ke
Nusantara, yang juga datang dari Yunan lalu ke Philipina dan menyebar ke
Nusantara. Mereka telah mengenal budaya yang lebih maju seperti
tembikar ataupun perunggu. Walaupun demikian budaya perunggu masih sulit
dibuktikan di Minahasa karena belum ada bekas-bekas yang dapat
menunjukkan bahwa orang-orang tua masa lampau telah mengenal pembuatan
barang termaksud. Hal inilah yang menyebabkan bangsa yang datang itu,
lalu pergi lagi menyebar kepulau-pulau lainnya. Mungkin kepergian mereka
disebabkan di Tanah Minahasa, mereka tidak menemukan sumber-sumber alam
atau bahan-bahan mentah untuk pembuatan barang-barang tersebut sehingga
mereka tidak dapat menegmbangkan budayanya. Walaupun demikian, tidak
semua pendatang ini meninggalkan tanah minahasa, melainkan sebagian
tetap melebur dengan penduduk sebelumnya, dan mereka itulah yang menjadi
asalnya suku-suku di Minahasa, termasuk Suku Toundanouw (Tonsawang)
kemudian.