Batu Pinabetengan

Tempat menerima Amanat yang dituakan "Nuwu i Tu'a".

Lesung Nawo Oki

Lesung peninggalan leluhur yang menjadi Identitas anak Suku Tonsawang.

Lesung Nawo Tambanas

Tempat yang dipercayai digunakan untuk Mandi sebelum melakukan pertempuran / berperang.

Sumur Abur

Sumur Abur yang merupakan tempat peninggalan leluhur Suku Tonsawang.

Lesung Nawo Pondalos

Pahasa tampa i manga matu-matua musti kalahan i manga poyog bo hiaha'anio.

Selasa, 23 Desember 2014

Galeri Foto ; Lesung Batu Perkebunan " Balao "

Banyak Peninggalan dari Leluhur yang ada di Tanah Minahasa Khususnya Suku Toundanouw/Tonsawang, dan salah satunya yaitu Lesung Batu yang berada di Perkebunan BALAO Kec. Touluaan Kabupaten Minahasa Tenggara.

Saat salah seorang pemerhati Budaya Toundanou/Tonsawang melakukan jalan-jalan mengunjungi Lokasi Situs Budaya ini, ditemukan sekitar Lesung Batu tidak terurus lagi (So nda ja sebersih akang), jangankan di Lesung Batu ini, Kebun Sawah tempat Lesung ini berdiri, terlihat sudah dibiarkan oleh pemiliknya. Seperti pada gambar di bawah ini;




Saat Pemerhati Budaya Toundanouw/Tonsawang berupaya meskipun hanya sekitar lesung yang dibersihkan, supaya kelihatan lebih baik.





Rabu, 26 November 2014

Sombayang / Doa Bapa Kami

Saat ini saya akan bagikan Doa Bapa Kami dari berbagai Versi :

 Versi Bahasa Tonsawang / Tombatu / Toundanouw ;

AMANG ANATATANG
AMANG AMBAOI KAHOLANOAN I SORGA
PEDAYORAYOWEN NGALAN NU
WOWALADAI KERAJAAN NU
MAMOALIMAI PATAARE NU AMBAOI TOBA KELEI A SORGA
POWALADANAI SIKOON ENDOINIA
APUNGAN PAHASA KASEAAN
OSA HAMI TAHULA MAPUNG KASEAAN I TOUWALINA
NAAM I WAYAI A LOLEPEI
SUMATA I REKANG AKATAPIAAN
KARNGAN SI HOU TUMAKA-TAKA
I KERAJAAN BO KUASA BO KONUNGAAN AHAD KAETOETO
ULIT.


Versi Katolik;
BAPA kami: yang ada di-surga :
dimuliakanlah nama-Mu ;
datanglah: kerajaan-Mu;
jadilah kehendak-Mu diatas bumi: seperti di dalam surga,
berilah kami rezeki pada hari ini.
dan Ampunilah kesalahan kami,
seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami ;
dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan,
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.
Amin.

Versi Protestan ;
Bapa kami yang di sorga,
Dikuduskanlah nama-Mu,
datanglah Kerajaan-Mu,
jadilah kehendak-Mu
di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini
makanan kami yang secukupnya
dan ampunilah kami akan kesalahan
kami, seperti kami juga mengampuni
orang yang bersalah kepada kami;
dan janganlah membawa kami ke
dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada
yang jahat.
[Karena Engkaulah yang empunya
Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan
sampai selama-lamanya. Amin.]
Lukisan James Tissot: The Lord's Prayer ("Doa Bapa Kami") (1886-1896)

Versi Bahasa Latin ;
Pater noster, qui es in caelis:
sanctificetur Nomen Tuum;
adveniat Regnum Tuum;
fiat voluntas Tua,
sicut in caelo, et in terra.
Panem nostrum cotidianum da nobis hodie;
et dimitte nobis debita nostra,
sicut et nos dimittimus debitoribus nostris;
et ne nos inducas in tentationem;
sed libera nos a Malo.


Versi Bahasa Yunani ;

Πάτερ ἡμῶν ὁ ἐν τοῖς οὐρανοῖς· Pater hêmôn ho en toes ouranoes
ἁγιασθήτω τὸ ὄνομά σου· hagiasthêtô to onoma sou;
ἐλθέτω ἡ βασιλεία σου· elthetô hê basileia sou;
γενηθήτω τὸ θέλημά σου,· genêthêtô to thelêma sou,
ὡς ἐν οὐρανῷ καὶ ἐπὶ τῆς γῆς· hôs en ouranô, kae epi tês gês.
τὸν ἄρτον ἡμῶν τὸν ἐπιούσιον δὸς ἡμῖν σήμερον· ton arton hêmôn ton epiousion dos hêmin sêmeron;
καὶ ἄφες ἡμῖν τὰ ὀφειλήματα ἡμῶν, kae aphes hêmin ta opheilêmata hêmôn,
ὡς καὶ ἡμεῖς ἀφίεμεν τοῖς ὀφειλέταις ἡμῶν· hôs kae hêmeis aphiemen toes opheiletaes hêmôn;
καὶ μὴ εἰσενέγκῃς ἡμᾶς εἰς πειρασμόν, kae mê eisenenkês hêmas eis peirasmon,
ἀλλὰ ῥῦσαι ἡμᾶς ἀπὸ τοῦ πονηροῦ. alla rhysae hêmas apo tou ponerou.
[Ὅτι σοῦ ἐστιν ἡ βασιλεία καὶ ἡ δύναμις hoti sou estin hê basileia kae hê dynamis
καὶ ἡ δόξα εἰς τοὺς αἰῶνας. ἀμήν.] kae hê doxa eis tous aeônas. amên.


Versi Bahasa Aram;

Abwoon d'bwashmaya,
Nethqadash shmakh,
Teytey malkuthakh.
Nehwey tzevyanach aykanna d'bwashmaya aph b'arha.
Hawvlan lachma d'sunqanan yaomana.
Washboqlan khaubayn (wakhtahayn)
aykana daph khnan shbwoqan l'khayyabayn.
Wela tahlan l'nesyuna.
Ela patzan min bisha.
Metol dilakhie malkutha wahayla wateshbukhta l'ahlam almin.
Amen.




Minggu, 23 November 2014

SEJARAH TOUNDANOUW / TONSAWANG

SEJARAH TOUNDANOUW - TONSAWANG

Asal usul dan latar belakang munculnya beberapa julukan untuk orang Tonsawang (Toundanouw). Nama Toundanouw menjadi anak suku yang tinggal di sebelah selatan Gunung Soputan dan sekitar danau Bulilin. Toundanouw terambil dari dua kata yakni Tou yang artinya orang, dan Dano yang artinya Air. Dengan demikian Toundanouw artinya orang air. Diberi nama orang air karena anak suku ini tinggal di sekitar danau bulilin. Bagi orang Toundanouw sendiri lebih mengenal mereka sebagai Nanah i Toundanouw ( anak suku Toundanouw ).

Nama Tonsawang lebih dikenal sebagai gelar yang diberikan oleh orang-orang dari luar Toundanouw (Tonsawang). Pemberian gelar ini mempunyai latar belakang tersendiri. Setelah sekian lama kelompok dari Tumpaan yang datang dan menetap di sekitar Danau bulilin, suatu waktu datanglah dua kelompok rombongan dari sebelah utara. Dua kelompok itu kemudian diketahui sebagai kelompok yang berasal dari anak Suku Toulour. Kedua kelompok itu masing-masing berasal dari Wewelen dibawah pimpinan Tonaas Kaawoan sedangkan kelompok lainnya berasal dari Luaan dibawah pimpinan Tonaas Mamosey. Pertemuan ini sangat mengembirakan karena diantara mereka terdapat banyak kesamaan baik dalam segi bahasa,adat istiadat dan sebagainya,apa lagi mereka berasal dari tanah leluhur yang sama. Baik mereka yang lebih dahulu menetap disekitar danau bulilin maupun yang datang dari utara hidup rukun dan damai serta berkembang menjadi anak suku Toundanouw. Sampai saat ini dikenal anak suku Toundanouw ( Tonsawang ) terbagi atas dua sub anak suku yakni Tou Betelen yang mendiami bagian Timur dan Tou Luaan yang mendiami bagian Barat.

Seperti telah dikemukakan diatas bahwa disamping nama Toundanouw yang populer dikalangan anak suku Toundanouw sendiri,ternyata masih ada nama lain seperti TONSAWANG,TONSINGIN,dan MOISING. Ketiga nama ini merupakan julukan ( gelar ) yang diberikan oleh anak suku diluar Toundanouw kepada anak suku Toundanouw. Gelar atau julukan tersebut berkaitan dengan peristiwa kepahlawanan (Perang) yang terjadi di Minahasa Antara tahun 1644 -1683 sering timbul peperangan antara bolaang mongondow dan Mindanouw. Pada tahun 1644 Amurang diduduki tentara Spanyol dengan alasan ingin membangun persahabatan dengan penduduk pribumi. Ternyata pasukan Spanyol ingin menguasai perdagangan( Monopoli ) terutama terhadap komoditi beras sebagai hasil utama dari Kali Tombatu. Demikian pula dengan kejahatan lainnya seperti perkosaan terhadap wanita penduduk setempat. Kenyataan ini telah mengakibatkan meledaknya pemberontakan anak suku Toundanouw yang mengakibatkan tewasnya 40 tentara spanyol di Kali dan Batu. Dipihak tentara pribumi telah mengakibatkan gugurnya Panglima Monde bersama 9 orang tentaranya. Panglima Monde gugur dalam rangka membela, mempertahankan dan melindungi Ratu Oki dan wilayah kekuasaannya. Ratu Oki tidak lain adalah istri panglima monde yang telah gugur itu. Gugurnya panglima monde tidak membuat surut perlawanan tentara Toundanouw, Panglima monde digantikan oleh Panglima Lelengboto yang juga dikenal keberaniaannya. Dalam perlawanannya terhadap penjajah panglima lelengboto dibantu dengan beberapa pahlawan yang gagah berani seperti Gandey, Koba, Moharow, keberanian tentara pribumi telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban dipihak Spanyol. Jenis senjata Meriam yang digunakan tentara spanyol tak mampu melumpuhkan lelengboto dan tentaranya. Dalam peperangan ini 40 orang tentara spanyol ( Tasikela ) menemui ajalnya. Sedangkan di Amurang tercatat 100 orang tertawan dan terbunuh. Tentara spanyol yang dikalahkan itu dibawah pimpinan Bartholomeo de Soisa.

Keberanian dan kemenangan pasukan Toundanouw inilah yang menyebabkan anak suku Tontemboan dan Pasan-Ponosakan menamakan anak suku Toundanouw sebagai TONSINGIN. Tonsingin artinya orang yang disegani. Sampai saat ini orang-orang tua Pasan-Ponosakan lebih mengenal masyarakat Tonsawang dengan Tonsingin. Selanjutnya orang bolaang mongondow menyebut anak suku Toundanouw sebagai MOISING. Moising artinya dihormati atau disegani, Sebelum bangsa asing menguasai dan menjajah bangsa Indonesia maka tidak ada nama lain dari anak suku yang mendiami sekitar Danau Bulilin selain Toundanouw. 

Sejak lama anak suku Toundanouw hidup sejahtera,aman dan tentram dibawa Pimpinan seorang Ratu yang bernama OKI. Atas kebijaksanaan dan kearifannya memimpin anak suku Toundanouw maka Oki disahkan sebagai Tonaas dan Balian. selama kepemimpinan Ratu Oki, Spanyol dan Belanda tidak pernah menguasai atau menjajah anak suku Toundanouw. Bangsa asing telah mencoba dengan jalan perang dan damai namun Ratu Oki tidak pernah berkompromi dengan bangsa asing. nanti sesudah Ratu OKI meninggal barulah anak suku Toundanouw dikuasai oleh bangsa asing. Salah satu tradisi yang sangat kuat dikalangan anak Suku Toundanouw adalah melakukan pekerjaan secara bersama sama. pekerjaan di sawah dan di ladang sehari harinya dikerjakan secara kelompok yang terdiri atas Pria dan Wanita. Kelompok ini biasanya bekerja disertai seruan seruan dengan nada memberi komando dan memerintah yang berisi ajakan-ajakan dan dorongan agar tetap giat bekerja. Ajakan dan dorongan itu sering terungkap dalam bentuk nyanyian. Kelompok pekerja ini disebut Maando atau yang dikenal dengan Mapalus. 

Tradisi yang kuat ingin membantu orang lain menarik perhatian Bangsa Belanda. Dalam bahasa Toundanouw bantu membantu disebut Sawang. Pada tahun 1661, 1709-1711 dan 1809-1811 terjadi perang Tondano. Demikian pula pada tahun 1756,terjadi sengketa antara Minahasa dan Bolaang Mongondow. Terhadap kedua peristiwa itu bangsa melihat bahwa anak suku Toundanouw secara sukarela membantu baik dalam hal tenaga maupun materi ( terutama beras ). Atas dasar itulah Bangsa Belanda memberi nama anak suku Toundanouw sebagai orang sawang atau Tonsawang. Gelar atau julukan Tonsawang secara resmi dipakai dalam aktivitas pemerintahan sejak tahun 1886 ketika pemerintah belanda melalui surat keputusannya menetapkan berdirinya Distrik Tonsawang. Walak Toundanouw kemudian menjadi Pakasaan Tonsawang. Jiwa dan semangat tolong menolong yang telah tertanam sejak lama ternyata bukan hanya dalam hal mengolah sawah dan ladang. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata pekerjaan tolong menolong atau Maando ( Mapalus ) juga untuk membiayai perkawinan, membuat rumah, menyediakan perabot untuk rumah baru ( Marambak ). Tentu saja bangsa belanda telah mengamati dan menilai secara seksama untuk datang pada keputusan memberi gelar kepada anak suku Toundanouw sebagai Tonsawang.

Mengkalimatkan Angka 1-10

Cara pengkalimatan angka 1 s/d 10 di Suku Tonsawang / Toundanouw memiliki 2 versi dalam mengkalimatkan angka-angka tersebut. 

Contoh : 

  1. =Esa
  2. =Rua
  3. =Telu
  4. =Epat
  5. =Lima
  6. =Enem
  7. =Pitu
  8. =Walu
  9. =Siow
  10. =Sangawulu.



Contoh diatas merupakan pengkalimatan yang umumnya digunakan oleh anak suku Minaesa khususnya anak suku Tonsawang / Toundanouw, tetapi ada versi lain yang digunakan oleh Orang Tua jaman dahulu yang tidak diketahui oleh anak suku Tonsawang jaman sekarang yaitu :


  1. = Esa
  2. = Beluan
  3. = Tengku
  4. = Paat
  5. = Keliwan
  6. = Keenem
  7. = Kepitu
  8. = Walaan
  9. = Kentjem
  10. = Pluip

Sabtu, 15 November 2014

Lesung Nawo Datumbanua

Salah satu peninggalan leluhur yang berada di Suku Tonsawang yaitu Lesung Batu milik Nawo / Dotu Datumbanua yang terletak di Desa Tombatu Satu Kecamatan Tombatu Kabupaten Minahasa Tenggara "Katuahan".

Lesung Nawo / Dotu Datumbanua

Nawo / Dotu Datumbanua yang beristrikan perempuan bernama Subanen dipercayai adalah sosok yang semasa hidupnya telah merancang pertanian yang berada di Tombatu / Betelen, dan dapat kita lihat  hingga kini bila mengunjungi Wanua Tombatu , dan konon cerita lesung ini sempat jatuh ke bawah bukit dan pada gambar tersebut diatas adalah tempat dimana lesung tersebut berada sekarang setelah diangkat dari bawah bukit dan hal ini dipercayai adalah awal mula keberadaan Suku Tonsawang mulai terangkat / dikenal oleh suku lain.

Nawo Datumbanua juga dipercaya adalah Dotu yang sering berkeliling keberbagai benua dan dari kunjungannya inilah sehingga mendapatkan inspirasi untuk merancang pertanian yang berada di Wanua Betelen / Tombatu.

Jumat, 14 November 2014

Sejarah Watu / Batu Pinabetengan & Watu Tumotowa

Alkisah keturunan Toar dan Lumimuut telah berkembang biak memenuhi wilayah pemukiman awal mereka,yakni Tu'ur in tana. sampai suatu masa datanglah musibah serta bencana alam beruntun yang menjadi peringatan bahwa mereka harus mengosongkan Tu'ur in Tana dan menemkan lahan penghidupan baru. Atas petunjuk burung manguni, mereka harus berjalan menentang jalannya mentari ke arah Timur, lalu berbelok ke Utara. Disekitar Sumeseput, disanalah kehidupan yg baru dari kaum keturunan Toar Lumimuut. Setelah melalui berbagai rintangan dan derita, tibalah mereka disebuah perbukitan yang dinamai Tonderukan yang dari sini terpampang pemandangan yang indah, luas dan sangat subur tepat sesuai petunjuk Manguni-Makasiouw, di salah satu sisi tegaklah Gunung Soputan ( semeseput ). Segera para kumeter, pemimpin mapalus membangun pemukiman di tempat yang dinamai Ranolesi ( Terletak di antara Tumaratas dan Tou're sekarang ). Sebelum para Walian menyiapkan upacara kurban syukur, mereka mencarikan tempat untuk mendirikan Tumotowa sesuai dengan kebiasaan ( Tumotowa berupa batu yang menjadi mezbah ritual sekaligus menandai berdirinya pemukiman suatu komunitas ).


Selanjutnya karena yang di jadikan Tumotowa kali ini adalah sebuah altar alamiah,berupa Batu besar yang memanjang dari Timur ke Barat,dan saat di jumpai di atasnya bertengger Burung Manguni sementara lainnya disekitar itu di tunggui ular hitam,maka kaum yg besar ini segera dinyatakan sebagai Watu Tumotowa Wangko ( mezbah Agung ). Dengan di pimpin Tonaas Walian Wangko ( Pada masa tertentu terdapat Pemimpin Pemerintahan yang sekaligus pemangku adat kepercayaan ). Merekapun melangsungkan upacara dengan kurban bakaran sangat banyak berupa sejumlah hewan hutan hasil buruan para Waraney. Di situlah dicetuskan "Nuwu i Tu'a" ( Amanat dari yang di tuakan ) atau yg kemudian lebih dikenal sebagai Amanat Watu Pinawetengan : Bahwa tanah ini adalah milik kita bersama, sesuai petunjuk sang manguni bagi bagikanlah tanah ini, rambahilah tapal-tapal baru lahan penghidupan, wahai pekerja! kuasai dan pertahankanlah wilayah, wahai satria! Agar keturunan kita dapat hidup dan memberikan kehidupan! Akad se tu'us tumou o tumou tou.
Batu / Watu Pinabetengan

Mezbah utama ini kemudian disebut "Watu Pinawetengan" sebab dibatu inilah dirundingkan dan diamanatkan pembagian wilayah pemukiman kaum keturunan Toar Lumimuut. Seterusnya Watu Pinawetengan menjadi tempat pertemuan para pemimpin anak-anak suku bangsa Minahasa setiap kali menghadapi persoalan besar dan membutuhkan pengukuhan kembali janji setia Maesaan ( persatuan ). Namun kemudian, seiring tahun berganti tahun, abad berganti abad, Watu Pinawetengan sempat hilang ditelan bumi. Meski dipermukaan area tersebut para pemimpin adat dan generasi ke generasi selalu datang melangsungkan upacara. Pengalian atas batu tersebut baru dilakukan pd tahun 1888, sesuai hasil analisis J.A.T. Schwarz dan J.G.F. Riedel ( Masing-masing adalah putera dari Pdt. J.G. Schwarz dan Pdt. J.F. Riedel-dua misionaris yg berperan penting menginjili Minahasa ). Berdasarkan petunjuk sejumlah tuturan dan sastra lisan yg diwarisi oleh orang-orang tua. Bila kita menghayati nilai dan semangat Maesaan yang tetap dan semakin dibutuhkan di zaman modern ini. Salah satu amanat yang pernah dicetuskan para leluhur di watu pinawetengan, yakni Nuwu I Ngeluan: Bila kita bertumpuk,menyebarlah. Bila kita tersebar,tetap satulah kita dan selalu kembalilah membangun daerah kita tercinta Minahasa raya.
Watu Tumotowa didirikan oleh setiap komunitas orang minahasa dimanapun mereka mulai membuka pemukiman. Itu menjadi mezbah umat untuk memohon restu bermukim, semoga tanah dan air diberi berlimpah untuk sumber kehidupan. Dan untuk seterusnya digunakan sebagai tempat sekaum untuk berkomunikasi dengan Empung Wailan Wangko 'Tuhan Yang Maha Esa'. 

Watu Tumotowa dari anak suku Tontemboan dan sebagian Toulour "Towa: memanggil, memohon hadirat Tuhan". Anak suku Tonsea : Watu Tumou. Orang Toudano : Panimbe, Tombulu : Watu Pahlalesan. Setiap hendak membuka pemukiman baru, para leluhur Minahasa melepaskan seekor ayam jantan ditempat yang telah dipilih. Dimana ayam itu pertama kali mengais / mencakar tanah, disitulah batu Altar didirikan. Dan rumah-rumah penduduk pun mulai didirikan disekitar area yang menjadi tempat suci tersebut. Di kakas, di permukaan batu yang merupakan titik awal pembangunan negeri itu tergurat bekas cakaran ayam (Kina'kas ni ko'ko'-dan menjadi asal mula nama negeri itu: Ka'kas). di Tompaso Baru, sebuah batu tumotowa terpahat ditebing batu, dan ini dipercaya oleh kalangan tertentu sebagai pemukiman mula dari keturunan Toar Lumimuut sebelum mereka pindah kekawasan Tonderukan dan sekitarnya. 

Keistimewaan dari watu tumotowa di tompaso ini ialah, pertama : bahwa ia merupakan salah satu dari mezbah yang paling awal didirikan orang minahasa sebelum mereka memenuhi seluruh penjuru jazirah utara sulawesi dan mendirikan Watu Tumotowa di masing-masing tempatnya sampai menjadi banyak. Kedua : Watu yang sekarang terletak di tengah arena pacuan kuda ini dipercaya sebagai tempat upacara yang serangkaian dengan upacara besar di Watu Pinawetengan. 

Jika diatas, di watu pinawetengan dipimpin Muntu-untu, pemimpin tertinggi yang kemudian menjadi Opo, Maka yang dibawah di watu tumotowa dipimpin oleh bawahan Muntu-Untu yakni Miyoh-Iyoh. Opo Mioyoh adalah Opo Bumi yang bersemayam didalam tanah. Istri Mioyoh adalah Tende Wene, Dewi Padi (wene:padi). Upacara upacara yang dilakukan di Watu Tumotowa maupun di Watu Pinawetengan memang senantiasa dikaitkan dengan permohonan untuk kesuburan dan keberhasilan panen.

Minggu, 19 Oktober 2014

DEWA & DEWI KELENTENG Part 4

DEWATA PENGUASA LANGIT

Para dewata ini mempunyai kekuasaan di seluruh alam, dan dipuncaki oleh Yu Huang Da Di sebagai dewata tertinggi yang melaksanakan pemerintahan alam semesta dan dibantu oleh para dewata lain seperti Dewa Halilintar, Dewa Bintang, dan lain-lain. Tugas mereka adalah mengatur semua yang ada dikawasan langit seperti peredaran bintang, keamanan khayangan, hembusan angin dan berkelebatnya kilat dan lain-lain gejala alam.

1.YU HUANG DA DI
Yu Huang Da Di (Giok Hong Tay Tee-Hokkian), biasanya disebut sebagai Tian Gong Zu (Thian Kong Co-Hokkian), kadang-kadang disebut sebagai Yu Huang Shang Di (Giok Hong Siang Te-Hokkian) yang secara harafiah berarti "Kaisar Pualam", sebab Pualam atau Kumala (Yu-Mandarin, Giok-Hokkian) merupakan lambang kesucian. Beliau dianggap sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan alam semesta, bertahta di khayangan.

Pada jaman dahulu hanya kaisar saja yang boleh melakukan upacara sembahyang kepada-Nya, menteri atau rakyat biasa tidak diijinkan. Pada masa Zheng Cheng Gong, di Taiwan pernah melakukan sembahyang kepada Yu Huang untuk mewakili kaisar dinasti Ming. Tiongkok pada masa itu sudah dikuasai oleh bangsa Manzhu, dinasti Ming sudah runtuh. Tapi di Taiwan, Zheng Cheng Gong masih tetap berkuasa dan menjalankan pemerintahan sebagai menteri kerajaan Ming, karena Kaisar Ming sudah tiada maka untuk bersembahyang kepada Tian dia merasa perlu mewakili. Barulah sesudah keturunan Zheng Cheng Gong menyerah kepada pemerintah dinasti Qing (Manzhu), upacara ini dihentikan. Setelah itulah meskipun tidak diperkenankan melakukan upacara sembahyang kepada Tian, rakyat kebanyakan melakukan sembahyang dirumah masing-masing dihadapan pedupaan pemujaan, untuk bersujud kepada Tian dan berdoa memohon keselamatan.

Pada masa pertengahan dinasti Qing, karena kerajaan sibuk memulihkan keamanan diberbagai propinsi di Tiongkok, maka pemujaan resmi tidak dilakukan lagi. Rakyat lalu melakukan pemujaan di kelenteng dimana Zheng Cheng Gong melakukan upacara tersebut, dan secara resmi ditempatkan altar untuk Tian dikelenteng tersebut, yang lazimnya disebut Tian Gong Miao.

Bersamaan waktunya juga didirikan kelenteng Yu Huang Gong, digunung Jian San, dan pada tahun Jia Qing ke-5 ditambah sebuah area Yu Huang Shang Di. JAdi sekarang di Taiwan terdapat dua buah kelenteng untuk memuja Yu Huang Da Di. Pengunjung kedua kelenteng ini sangat banyak, terutama pada tanggal 9 bulan 1 Imlik, yang dianggap hari ulang Tahun Yu Huang Da Di, kecuali itu perkumpulan-perkumpulan swasta yang memuja Yu Huang pun mulai banyak diantaranya yang terkenal adalah perkumpulan Jing Xian Tang yang didirikan pada tahun Xian Feng yang ke-8.

Pemujaan terhadap Tian ini merupakan perwujudan pandangan orang Tionghoa tradisional tentang bersatu padunya langit (Tuhan) dan manusia, sebab itu di ruang belakang kelenteng ada papan bertuliskan "Tian Di Yi Li" (yang berarti langit/Tuhan dan bumi punya tata krama yang sama). Kesemua ini punya makna mendidik masyarakat untuk memberkahi siapa saja yang berbuat baik dan akan menghukum yang berbuat jahat.

Asal usul pemujaan Yu Huang yang kemudian banyak memperoleh gelar kehormatan, kira-kira sebagai berikut : Kaisar Zhen-zong dari dinasti Song (A.D 1005) terpaksa harus menanda tangani kapitulasi damai dengan orang Tungus (Ji-tan). Karena hal yang memalukan ini kerajaan mengalami krisis kepercayaan dari rakyat, sehingga dukungan dari massa dikhawatirkan merosot. Untuk menenangkan rakyatnya sang kaisar berlaku seakan-akan ia bisa melakukan komunikasi langsung dengan dewata dilangit. Pada suatu hari, pada bulan yang kesepuluh tahun 1012, dikumpulkannya semua menterinya dan beliau lalu bersabda "Di dalam mimpiku, seorang Dewa telah datang kepadaku dengan membawa sepucuk surat dari Yu Huang Da Di dan mengatakan bahwa leluhurku akan datang sendiri dan dipertemukan dengan aku".

Sungguh ajaib apa yang dikatakannya menjadi nyata, Song Tai-zu (Pendiri dinasti Song) tiba-tiba menampakkan diri di depannya Baginda Kaisar Song Zhen-song sangat heran sekali. Sejak saat itulah lalu diadakan sembahyangan pemujaan terhadap Yu Huang Shang Di, disamping catatan sejarah ini masih ada sebuah legenda yang menjelaskan asal-usul Yu Huang.

Dikisahkan pada sebuah negeri yang bernama Guan Yan Miao Luo Guo, Raja Jing De dan permaisurinya Bao Yue sedang bersusah hati. Sudah bertahun-tahun mereka mendambakan putra, tapi tak kunjung tiba juga. Sudah berpuluh-puluh orang pendeta  Taoist didatangkan untuk memimpin upacara sembahyang kepada Penguasa Alam, supaya permohonannya terkabul, tapi hasilnya nihil. Pada suatu malam sang permasuri bermimpi, dilihatnya Lao Jun sedang menunggang seekor naga sambil menggendong seorang anak laki-laki. Dewa itu terbang kearahnya, segera permaisuri memohon agar anak laki-laki itu diberikan kepadanya sebagai penerus tahta kerajaan, "Aku tidak berkeberatan" kata Lao Jun ini terimalah, sang permaisuri segera berlutut menghaturkan terima kasih. Ketika sadar dari mimpinya dia mendapati dirinya berbadan dua. Pada akhir tahun seorang pangeran telah lahir, sejak usia masih muda sekali sang pangeran sudah menunjukkan suatu pribadi yang welas asih terhadap sesamanya yang sedang dirundung malang, terutama terhadap orang miskin. Setelah ayahanda meninggal, beliau lalu naik tahta, tapi hanya beberapa hari saja dia memerintah, beliau melepaskan kekuasaannya dan mengangkat seorang perdana menteri sebagai pengganti, lalu pergi bertapa di pegunungan Pu Ming dipropinsi Shanxi dan di pegunungan Xiu Yan dipropinsi Yunan. Setelah memperoleh kesempurnaan, hari-hari dilewatinya dengan menyembuhkan orang-orang yang menderita sakit. Pada saat menjalankan tugas kebajikan inilah beliau wafat. Kaisar Cheng Zong dan Hui Zong dari dinasti Song menganugrahi beliau dengan bermacam-macam titel antara lain YU Huang Da Di, yang tetap dipakai orang-orang sampai sekarang.

Kaum Buddist dan Taoist masing-masing mengaku bahwa Yu Huang adalah Tuhan mereka. Kaum Buddist menganggapnya sebagai Indra, dalam hal ini bisa dianggap Yu Huang adalah Dewasa Buddist yang dimasukkan dalam khasanah Dewa-dewa Taoist.

Yu Huang sering kali dianggap sebagai lambang akan kepercayaan alam semesta. Jing De, ayahnya adalah matahari dan sang permaisuri Bao Yue ibunya adalah lambang rembulan. Perkawinan mereka adalah melambangkan lahirnya kekuatan yang menyelimuti alam dengan kehidupan penuh kesuburan dan bunga-bunga.


2. DEWI PENGUASA LANGIT BARAT DAN TIMUR 
    (XI WANG MU DAN DONGWANG GONG)

Xi Wang Mu, yang secara umum dipanggil Wang Mu Niang Niang (Ong Bo Nio Nio-Hokkian), sering juga disebut sebagai Yao Chi Jin Mu. Ada anggapan yang menyatakan ia adalah permaisuri Yu Huang Da Di. Xi Wang Mu diciptakan dari intisari yang paling murni dari hawa langit bagian barat dan lahir ditempat yang disebut "Yi-Chuan", dengan nama keluarga Hou. Nama kecilnya adalah Hui alias Wan-Jin, ia adalah penguasa langit bagian barat, ia bersama Dong Wang Gong yang diciptakan dari intisari hawa langit bagian timur (Penguasa Langit bagian Timur), merupakan lambang Yin dan Yang atau negatif dan positif, kedua unsur ini bekerja sama menciptakan langit dan bumi beserta mahluk dialam semesta. Jadi kedua unsur inilah yang menjadi asas yang paling hakiki dari kehidupan, dan merupakan nafas dari segala mahluk hidup.

Xi Wang Mu bertempat tinggal digunung Gun Lun Shan, gunung suci bagi kaum Taoisme, sama halnya dengan gunung Semeru bagi umat Buddha yang berselimutkan salju, Pegunungan Gun Lun mempunyai keliling 1000 li atau 333 mil. Istananya dikelilingi oleh benteng dari emas dan batu mulia, sedangkan pavilium disebelah kanannya merupakan tempat bermukim para dewa, yang terbagi menjadi beberapa golongan menurut warna pakaian yang dikenakannya yaitu merah, biru, hitam, ungu, kuning dan warna alam. Disini terdapat sebuah air mancur besar yang dibangun dari bermacam-macam batu mulia dan disebut yao-chi atau Telaga Zamrud. Pesta buah tao atau persik (Tho-Hokkian) atau Pan Tao Hui diselenggarakan disini dengan dihadiri oleh kalangan dewa-dewa. Pesta ini diadakan untuk menikmati buah Tao, yang konon hanya berbuah 3.000 tahun sekali, dan siapa saja yang menyantapnya akan memperoleh umur panjang, hari inilah yang ditetapkan sebagai hari lahir Xi Wang Mu, disaat para dewa berkumpul untuk memberi selamat kepadanya.

Tentang Pan Tao Hui ini sedikit diceritakan dalam cerita klasik terkenal Xi You Ji (See Yu Ki-Hokkian) si Raja Kera yang sakti, telah mendapat gelar Oi Tian Da Sheng (Ce Thian Tay Seng-Hokkian), melahap habis semua buah tao yang akan dihidangkan buat Pan Tao Hui tersebut. Ia masih kurang puas, sehingga semua makanan yang disediakan untuk menjamu para dewa yang hadir pun tidak luput dari incarannya. Pesta itupun batal, sehingga Wang Mu Niang Niang marah besar, ia segera melaporkan kejadian itu pada Yu Huang Da Di, para malaikat dan bala tentara kahyangan yang diperintahkan menangkap Sun Wu Kong, tidak berhasil, tetapi akhirnya dengan bantuan Ru Lai Fo (Djie Lay Hud), Sun Wu Kong dapat ditaklukan dan dihukum dengan ditindih gunung Wu Xing Shan selama 500 tahun.

Dong wang Gong disebut juga Dong Hua Di Jun (Teng Hoa Te Kun-Hokkian) adalah penguasa langit Timur, dewata ini diciptakan dari intisari uap air dilangit timur dan merupakan penguasa unsur jantan "Yang" dan semua negeri sebelah timur. Istananya dilangit yang terselubung halimun berkubah awan ungu dan bertembok awan jingga, dia mempunyai pelayan Xian Tong (Jejaka Dewa) dan Yu Nu (Gadis Kumala). Mula-mula dewata ini disebut Mu Gong, tapi karena kekuasaannya dilangit timur ia disebut Dong Wang Gong (Paduka Raja dari Timur). Dia menguasai daftar semua dewa pria dan wanita, hari lahir Dong Wang diperingati pada tanggal 1 bulan 10 Imlik, dan Xi Wang Mu pada tanggal 18 bulan 7 Imlik.

Sebelum tahun 1950 pemujaan Dewata ini jarang terdapat di Taiwan, barulah dengan berdirinya aliran Zi Hui Tang di Taiwan, pemujaan mulai meluas di Indonesia masih jarang, tapi kabarnya di Surabaya ada kelenteng yang memuja Xi Wang Mu.

3.  PANGERAN KE-EMPAT (YU HUANG TAI-ZI)

Yu Huang Tai Zi (Giok Hong Thay-cu_Hokkian) adalah putra keempat Yu Huang Da Di, hari ulang tahunnya adalah tanggal 2 bulan 5 Imlik. Dulu karena rakyat umum tidak diperkenankan bersembahyang kepada Yu Huang, mereka membuat patung pangeran ke IV ini untuk disembah, dengan harapan agar doa mereka dapat didengar oleh sang Pangeran, dan kemudian disampaikan kepada Ayahnya.

Di Taiwan pada jaman kekuasaan Zheng Cheng Gong, didirikan kelenteng Yu Huang Tai-zi Gong dipuncak gunung Jian Shan, untuk meyembahnya. Kelenteng tersebut kemudian berubah nama menjadi Tian Gong Miao, karena digunakan untuk memuja Yu Huang Da Di, didalam Yu Huang Gong di tempat lain, ada juga pemujaan terhadap putri Yu Huang yang ke empat.
Tujuan pemujaan kira-kira sama dengan pemujaan terhadap Yu Huang Tai-Zi, hari lahirnya pada tanggal 6 bulan 9 Imlek.

4. DEWA LANGIT UTARA (XUAN TIAN SHANG DI)

Xuan Tian Shang Di (Hian Thian Siang Te-Hokkian) adalah salah satu dewa yang paling populer, wilayah pemujaannya sangat luas, dari Tiongkok Utara sampai Selatan, Taiwan, Malaysia dan Indonesia. Orang biasanya menyebutnya sebagai Shang Di Gong (Siang Te Kong-Hokkian), kedudukannya dalam kalangan malaikat tinggi sekali, setingkat di bawah Yu Huang Da Di, dan merupakan salah satu dari Si Tian Shang Di atau empat Maha Raja Langit. Si Tian Shang Di terdiri dari Qing Tian Shang Di di Timur, Yan Tian Shang Di di selatan, Bai Tian Shang Di di Barat dan Xuan Tian Shang Di di Utara. Beliau mempunyai wewenang di langit bagian utara dan menjadi pemimpin tertinggi para malaikat dikawasan itu, sebab itu patungnya selalu dilukiskan dengan menginjak kura-kura dan ular. Xuan Wu adalah dewa yang berkedudukan diwilayah utara dan dilambangkan sebagai ular dan kura-kura. Xuan Tian Shang Di yang disebut juga Zhen Wu Da Di (Cin Bti Tay Tee-Hokkian) adalah Xuan Wu. Lalu pada jaman dinasti Song secara resmi huruf Xuan diganti Zhen, dan sebutan Xuan Wu diganti Zhen Wu Da Di sebelah kanan dan kiri Xuan Tian biasanya terdapat dua orang pengawal yaitu jendral Kang dan jendral Zhao.

Pemujaan terhadap Xuan Tian Shang Di mulai berkembang pada masa dinasti Ming, dikisahkan pada masa permulaan pergerakannya Zhu Yuan Zhang (Pendiri dinasti Ming), dalam suatu pertempuran pernah mengalami kekalahan besar, sehingga ia terpaksa bersembunyi di pegunungan Wu Dang Shan (Bu Tong San-Hokkian), dipropinsi Hu Bei, dalam sebuah kelenteng Shang Di Miao. Berkat perlindungan Shang Di Gong (sebutan populer Xuan Tian Shang Di), Zhu Yuan Zhang dapat terhindar dari kejaran pasukan Mongol, yang mengadakan operasi penumpasan besar-besaran terhadap sisa-sisa pasukannya. Kemudian berkat batuan Xuan Tian Shang Di, maka Zhu Yuan Zhang berhasil mengusir penjajah Mongol dan menumbangkan dinasti Yuan. Ia mendirikan dinasti Ming, setelah mengalahkan saingan-saingannya dalam mempersatukan Tiongkok. Untuk mengenang jasa-jasa Xua Tian Shang Di dan berterima kasih atas perlindungannya, ia lalu mendirikan kelenteng pemujaan di ibu kota Nanjing (Nanking) dan digunung Wu Dang Shan. Sejak itu Wu Dang Shan menjadi tempat suci bagi penganut Taoisme. Kelentengnya, dengan patung Xuan Tian dari tembaga, bisa dilihat sampai sekarang, disamping itu Shang Di Gong juga diangkat sebagai Dewa Pelindung Negara. Tiap tahun tanggal 3 bulan 3 Imlik ditetapkan sebagai hari She-jietnya dan tanggal 9 bulan 9 Imlik adalah hari beliau mencapai kesempurnaan dan diadakan upacara sembahyang besar-besaran pada hari-hari itu. Sejak itulah pemujaan Shang Di Gong meluas keseluruh negeri, dan hampir disetiap kota besar ada kelenteng yang memujanya.

Di Taiwan pada masa Zheng Cheng Gong berkuasa, banyak kelenteng Shang Di Gong didirikan, tujuannya adalah untuk menambah wibawa pemerintah dan menjadi pusat pemujaa bersama rakyat dan tentara, oleh sebab itu maka kelenteng Shang Di Miao tersebar diberbagai tempat diantaranya yang terbesar adalah di Tainan yang dibangun pada waktu Belanda berkuasa di Taiwan.

Setelah jatuhnya Zheng Cheng Gong, dinasti Qing dari Manzhu yang berkuasa, mendiskreditkan Shang Di Gong dengan mengatakan bahwa beliu sebetulnya adalah seorang jagal yang telah bertobat. Usaha ini mempunyai tujuan politik yaitu melenyapkan dan mengkikis habis  sisa-sisa pengikut dinasti Ming secara moral, dengan memanfaatkan dongeng aliran buddha tentang seorang jagal yang telah bertobat lalu membelah perutnya sendiri, membuang seluruh isinya dan menjadi pengikut Buddha. Kura-kura dan ular yang diinjak itu dikatakan sebagai usus dan jerohan si jagal, oleh sebab itu maka tingkatannya diturunkan menjadi malaikat pelindung Penjagalan. Pembangunan kelenteng-kelenteng Shang Di Miao, sejak itu sangat berkurang. Pada masa dinasti Qing ini pembangunan kelenteng Shang Di Miao hanya satu yaitu Lao Gu She Miao di Tainan, tapi sebetulnya kaisar-kaisar Manzhu sangat menghormati Xuan Tian Shang Di ini, terbukti dengan dibangunnya kelenteng pemujaan khusus untuk Shang Di Gong dikomplek kota terlarang, yaitu Istana Kekaisaran di Beijing, yang dinamakan Qin An Tian dan satu lagi di istana Persingahan di Chengde.

Mengenai riwayat Xuan Tian Shang Di ini, seorang pengarang yang hidup pada akhir dinasti Ming, Yu Xiang Tou telah menulis sebuah novel yang bersifat dongeng yang berjudul "Bei You Ji" atau "Catatan Perjalanan ke Utara". Novel ini sekarang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul dalam lafal Hokkian Pak Yu Ki, dalam bentuk cerita bergambar oleh penerbit Zambhala dari yayasan tridarma Jakarta.

Adapun ringkasan riwayat Zhen Wu atau Xuan Tian Shang Di seperti yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah sebagai berikut :
Dikisahkan Yu Huang Da Di (Giok Hong Tay Tee-Hokkian) telah menyatakan keinginannya untuk turun ke dunia, maka satu diantara ketiga rohnya lalu lahir sebagai manusia pada keluarga Liu (Bandingkan dengan kepercayaan Kristen tentang Trinitas). Ayahnya Liu Tian Jun, kemudian memberi nama Zhang Sheng yang berarti "Tumbuh Subur". Liu Zhang Sheng tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas, pada usia tiga tahun ia sudah dapat membawakan sanjak dan memuat syair.

Ditaman keluarga Liu (law-Hokkian) itu terdapat pohon yang besar dan tinggi serta memancarkan cahaya yang berkilauan, ternyata disitu bersemayam Duo Bao Fo (To Po Hud-Hokkian) atau Buddha Prabutaratna Tathagata. Sang Buddha melihat Liu Zhang Sheng begitu tekun bersembahyang dibawah pohon itu, begitu tulus memujanya sehingga ia merasa kasihan dan meninggalkan pohon itu. Sepeninggal Duo Bao Fo maka pohon itu menjadi kering dan cahayanya lenyap. Liu Zhang Sheng sangat masygul melihat pohon kesayangannya layu, Duo Bao Fo lalu muncul dihadapannya dan menjelaskan mengapa pohon itu bersinar berkilau-kilauan tapi sekarang layu, Zhang Sheng menyatakan ingin ikut sang Buddha pergi ke istana langit, shang Buddha menyanggupi tapi orang tuanya tidak mengijinkan, Liu Zhang Sheng memaksa dengan diantar ratap tagis orang tuanya dia ikut Duo Bao Fo terbang ke langit, oleh sang Buddha dia diantar ke San Qing Tian (Sam Tjeng Tian-Hokkian yang berarti Istana Tiga Kesucian) tempat kediaman miao Le Tian-zun seorang tokoh agama Dao (Tao). Setelah mengetahui keinginan Liu Zhang Sheng yaitu ingin menjadi Dewa, Miao Le mengatakan bahwa untuk menjadi dewa ia harus lahir didunia kembali untuk bertapa dan mengalami berbagai kesukaran dan cobaan, serta tahan menderita. Lalu Miao Le menambahkan "sebagai manusia kau harus menghilangkan pikiran yang bukan-bukan, kalu ingin berhasil, sekali berbuat kesalahan kau akan gagal".

Kembali Liu Zhang Sheng menitis kedunia, kali ini menjadi seorang putra raja yang bernama Xuan Ming, karena kegagahannya Xuan Ming akhirnya diangkat mengantikan ayahnya yang wafat dan menjadi raja dinegeri itu. Pada suatu hari Miao Le Tian Zun datang dan mendidiknya memahami masalah kedewaan, dibawah asuhan Miao Le ia lalu meninggalkan segala kemewahan dunia sebagai raja dan mengikuti Miao Le pergi ke gunung untuk bertapa digunung Feng Lai Shan (Hong Lay San-Hokkian) mereka mendirikan gubuk dan tinggal disana sambil mempelajari kitab-kitab suci dan ajaran-ajaran Dao.

Sudah bertahun-tahun Xuan Ming bertapa, maka suatu hari Miao Le Tian Zun (Biauw Lok Thian Cun-Hokkian) berniat mengujinya, disuruhnya Xuan Ming turun gunung untuk membeli buah Tao, Miao Le menyamar menjadi seorang wanita desa yang cantik dan mencegatnya sambil menawarkan buah persik dengan harga luar biasa mahal yaitu 1.000 tael massebuah, tapi bila Xuan Ming mau memperistrikannya maka buah persik tersebut diberikannya dengan gratis. Xuan Ming terpaksa mengabulkan permintaannya dengan syarat "Aku adalah seorang pertapa, dalam hidup ini memperistrimu adalah tidak mungkin, hanya pada penitisan yang akan datang aku bersedia mengawinimu" Si wanita dengan tersenyum menjawab, "Dalam penitisan yang akan datang tidaklah menjadi soal, yang penting adalah kesanggupanmu. Sekarang terimalah buah ini", tiba-tiba wanita itu lenyap dan Miao Le Tian Zun berdiri dihadapannya dengan wajah gusar "Engkau menginginkan seorang wanita berarti kau masih terikat pada keduniawian, karena itu untuk mencapai kedewaan pada saat ini adalah mustahil, kau harus menitis kembali kedunia". Xuan Ming menangis menyesali perbuatan dan kecerobohannya.

Akhirnya dengan diantar oleh Miao Le, Xuan Ming menitis kembali lagi kedunia negeri Jing Luo Guo (Ceng Lok Kok-Hokkian) sebagai putera raja yang bernama Xuan Yuan Tai Zi. Ketika berusia 15 tahun, dalam suatu keramaian pada perayaan Yuan Xiao (Goan Siauw- Hokkian, Capgome), Xuan Yuan menjadi dingin hatinya melihat banyaknya kesengsaraan dan kekerasan dimasyarakat, dilihatnya orang berhantam karena berebut wanita, seorang penjambret dihajar oleh massa sampai babak belur, orang kaya dengan segala kemewahannya berpesta pora, sedang dijalan-jalan orang miskin mati kelaparan. Ini semua menggugah keinginannya untuk menjadi dewa dengan meninggalkan keduniawian, seperti pada penitisan yang lalu. mendengar keinginannya ini raja sangat marah, Xuan Yuan dijebloskan dalam penjara, pada saat ia dalam penjara itulah Miao Le Tian Zun datang menolongnya dan membawanya kegunung Wu Dang Shan (Bu Tong San-Hokkian), disana ia melanjutkan tapanya untuk menjadi dewa. Berkali-kali ayahnya menyuruh orang meminta dia pulang, tapi tekadnya tetap teguh, ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa, setelah 20 tahun bertapa Miao Le diam-diam menyuruh malaikat penguasa gunung Wu Dang untuk mengujinya, sang malaikat menyamar sebagi seorang wanita cantik yang mencoba dengan berbagai cara untuk merayu Xuan Yuan, Xuan Yuan kehabisan akal untuk menolaknya, ia lalu bangkit dari meditasinya dan meninggalkan tempat itu, dikaki gunung ia melihat seorang wanita tua mengasah sebatang besi diatas batu, ketika Xuan Yuan bertanya apa maksudnya mengasah besi, nenek itu menjawab dia sedang membuat jarum untuk cucunya. Xuan Yuan termenung mendengar ucapan nenek, ia sadar akan makna yang terkandung dalamnya, dengan teguhnya hati besi batangan pun dapat digosok menjadi jarum. Xuan Yuan lalu kembali menjalankan tapanya dengan tekun setelah berhasil mengatasi berbagai macam godaan, 20 tahun kemudian Miao Le menjemputnya dan naik ke langit untuk bertemu dengan Yu Huang Shang Di (Giok Hong Siang Tee-Hokkian). Yu Huang lalu berfirman dan mengangkat Xuan Yuan menjadi dewa dengan gelar Xuan Tian Shang Di dan berkuasa disebelah utara dan bertugas memerangi kejahatan serta menangkap siluman dan iblis yang mengacau dunia.
Selanjutnya dikisahkan Xuan Tian Shang Di turun kebumi menaklukkan berbagai siluman, antara lain Siluman Ular dan siluman kura-kura, yang kemudian menjadi pengikutnya, disamping itu seorang tokoh dunia gelap Zhao Gong Ming (Tio Kong Bing-Hokkian) juga ditaklukkan dan menjadi pengawalnya sebagai pembawa bendera berwarna hitam.

Dalam kisah ini oleh pengarang kura-kura dan ular yang merupakan lambang Dewa Utara (Xuan Wu) sengaja dipersonifikasikan sebagai manusia untuk lebih menonjolkan Zhen Wu. Akhirnya kisah ini dihubungkan dengan sejarah dinasti Ming dimana diceritakan bagaimana Zhen Wu atau Xuan Tiang Shang Di membantu Zhu Yuang Zhang mengalahkan Kerajaan Yuan (Mongol).

Sehubungan dengan kura-kura dan ular ini, para pengusaha rakit bambu di Taiwan dan Hongkong memuja Xuan Tian Shang Di, agar kura-kura dan ular disungai-sungai tidak berani menimbulkan ombak dan gelombang yang mengancam usaha mereka, kecuali di Taiwan dan Hongkong pemujaan terhadap Xuan Tian ini juga menyebar di Asia Tenggara terutama di Malysia, Singapura dan Indonesia. Disingapura kelenteng yang terkenal memuja Xuan Tian adalah Wak Hai Cheng Bio di Philip Street, di Indonesia hampir setiap kelenteng menyediakan altar untuknya.

Menurut cerita, Kelenteng Xuan Tian Shang Di yang pertama di Indonesia adalah Kelenteng Welahan, jawa tengah. Disemarang sebagian besar kelenteng ada tempat pemujaan untuknya, sedangkan yang khusus memuja Xuan Tiang Shang Di sebagai tuan rumah adalah kelenteng Gerajen dan Bugangan.

Disisni dapat dilihat bahwa Xuan Tian Shang Di adalah dewa Taoisme yang kepopulerannya sejajar dengan Guan Yin dan Guan Di (Kwan Tee- Kwan Kong_Hokkian).
Tian shang Di atau Zhen Wu Da Di ditampilkan sebagai seorang dewa yang memekai pakaian perang keemasan, tangan kanannya menghunus pedang penakluk iblis, dan dengan kedua kakinya yang tanpa sepatu menginjak kura-kura dan ular, wajahnya gagah berwibawa dihias dengan jenggot panjang dan rambutnya terurai kebelakang lepas, tidak diikat atau dikonde sebagai umumnya rambut pria pada jaman itu. Patung-patung Zhen Wu yang terdapat didalam kelenteng-kelenteng digunung Wu Dang Shan semuanya juga bergaya demikian.

Cerita-cerita yang beredar dikalangan rakyat, wajah maupun bentuk tubuh patung Xuan Tian itu sesungguhnya adalah wajah kaisar yong Le dari Dinasti Ming atau yang sering disebut sebagai Ming Cheng Zu (1403-1424), sebab itu ada sebuah pemeo yang mengatakan "Patung Zhen Wu, berwajah Yong Le" menurut catatan warta dari Hubei "Patung Xuan Tian dan Kaisar Yong Le memang mempunyai kaitan yang erat, seperti diketahui pada masa permulaan Dinasti Ming, Zhu Di yang sering kali disebut sebagai pangeran Yan Wang yang berkedudukan di Beijing telah menggerakkan pasukan merebut tahta kerajaan yang pada waktu itu diduduki oleh keponakannya yaitu kaisar Hui Di. Zhu Di lalu kemudian mengangkat dirinya sebagai kaisar ke-3 Dinasti Ming dengan gelar Cheng Zu dan tahun kerajaannya diganti menjadi Yong Le yang berarti "Kegembiraan Abadi", sebab itu ia lajim disebut sebagai kaisar Yong Le. Banyak menteri yang tidak menyetujui tindakan kaisar baru ini, mereka tidak puas tapi tak berani terang-terangan mengutarakan kejengkelannya. Umumnya mereka menganut Dao Jiao (Agama Dao, Taoisme) dan memuja Xuan Tian Shang Di. Maka diam-diam mereka berdoa kepada sang dewa agar Kaisar Yong Le dihukum karena perbuatan makarnya.

Tentu saja, Kaisar Yong Le mengetahui kasak-kususk dikalangan para menteri itu, pada waktu itu memang pemujaan Xuan Tian Shang Di sangat berkembang, Kaisar memerintahkan pembangunan kelenteng secara besar-besaran di Wu Dang Shan, dan banyak patung dewa itu dibuat untuk ditempatkan disana, dalam hati sang kaisar berpikir kamu sekalian mempercayai Dewa, aku akan membuat dewa buat kalian, tak hanya membuat bahkan menjadikan diriku menjadi dewa yang kalian sembah, kalau sudah begitu aku tidak kuatir lagi kalian membangkang perintahku". Dikumpulkannya tukang-tukang pahat kenamaan diseluruh negeri dan diperintahkan membuat area Xuan Tian Shang Di, kepada mereka Kaisar berkata : "Zhen Wu adalah seorang Maha Dewa dari Kahyangan, wajahnya gagah dan berwibawa. Kalian harus berhasil mengambarkan secara tepat".

Para tukang itu kebingungan mereka belum pernah melihat rupa Xuan Tian Shang Di, bagaimana dapat mengambarkan dengan tepat, mereka mengerahkan semua kemampuan seninya untuk memahat dan akhirnya terciptalah beberapa macam sosok Xuan Tian. Umumnya mengambarkan Dewa ini sebagai seorang pria yang tampan dengan berbagai macam bentuk tubuhnya, ada yang tinggi, gagah, ada yang pendek kekar, berwajah serius atau tersenyum ramah dalam keadaan berdiri dan menghunus pedang atau duduk besila dalam semedi.
diduga kaisar tidak puas sama sekali dengan hasil pahatan mereka, bahkan menuduh mereka tidak sungguh-sungguh sehingga menjatuhkan citra Sang Dewa. Mereka semua mengalami nasib buruk, ada yang dipenjara, dibuang bahkan ada juga yang dihukum pancung.

Kaisar mendengar kabar bahwa ada seorang pemahat ulung dari suku Korea yang namanya sangat termasyur sampai kemanca negara, pemahat itu biasanya disebut Guru Ji. Tanpa menunggu lebih lama, sang Kaisar memerintahkan agar sang pemahat dipanggil, guru Ji dan para anggota keluarganya paham bahwa memenuhi panggilan Kaisar berarti suatu kepergian yang belum tentu bisa pulang dengan selamat. Tapi firman kaisar tidak dapat ditolak, maka dengan diiringi ratapan sanak keluarganya ia berangkat ke Beijing memenuhi panggilan Kaisar Yong Le. Dalam benaknya Guru Ji berfikir, Kaisar membunuh para pemahat mungkin disebabkan karena mereka tidak dapat menduga secara tepat apa yang dikehendakinya, akan kucoba menerka apa sesungguhnya yang dikehendaki Kaisar dalam pembuatan patung ini", begitulah dengan langkah yang tegap ia pergi menghadap Kaisar. Pada saat itu kebetulan kaisar sedang mandi, ketika mendengar guru Ji datang menhadap ia lalu memerintahkan agar sang pemahat langsung menemui dia dikamar mandinya, Guru Ji lalu berlutut dihadapan kaisar tanpa berani menegadahkan mukanya untuk memandang wajah sang kaisar, tapi dia berusaha untuk mangamati segala gerak-gerik Kaisar dengan cermat.

"Hamba belum pernah melihat wajah Maha Dewa Zhen Wu yang berada di Kahyangan, sedangkan manusia dibumi ini begini banyak maka sulit bagi hamba untuk memilih wajah siapa yang pantas untuk dijadikan model wajah Zhen Wu Da Di, apa daya hamba"< demikian Guru Ji berkata kepada Kaisar. "Tolol", Kaisar membentak sambil beberapa kali menghentakkan kakinya, "gunakan otakmu untuk berpikir", mendengar jawaban kaisar, mendadak seberkas sinar terang terlintas dalam benak Guru Ji, "Bukankah ia menghendaki aku memakai kakinya yang telanjang sebagai model", untuk lebih mempertegas dugaannya ia lalu berkata" Kalau hamba sudah betul-betul memahami bentuk tubuh yang akan dipahat, barulah hamba berani memahat patung itu, tapi Kaisar pura-pura seakan-akan tidak sengaja lalu memutus perkataan sang pemahat; "Menegadahlah" kali ini nada suaranya berubah agak ramah. Sekarang Guru Ji betul-betul telah paham maksud Kaisar, nyalinya menjadi besar, ditegadahkannya kepalanya dan dilihatnya Kaisar berdiri dihadapannya. Wajahnya bundar, hidungnya besar, dan matanya agak menonjol, karena habis mandi rambutnya terurai kebelakang dan kakinya telanjang. Hati Guru Ji jelaskah sudah, tapi ia masih juga bertanya: "Wajah Zhen Wu Da Di harus hamba buat bagaimana ?" Kaisar tidak menjawab, hanya meraba-raba kepalanya sambil menepu-nepuk, isyarat ini bagi Guru Ji sudah lebih dari cukup, Ia lalu keluar dari istana dan mulai membuat model patung Xuan Tian berdasarkan keadaan kaisar Yong Le pada waktu habis mandi dan akhirnya sebuah patung perunggu yang beratnya 20.000 kati berhasil dibuat.

Begitu melihat hasil buatan Guru Ji, Kaisar tak henti-hentinya mangangguk-angguk dan memuji patung Zhen Wu yang satu ini sungguh-sungguh bagus dan sesuai dengan kehendaknya. Lalu Kaisar memotong sebagian jenggotnya dan diletakkan didagu patung itu, sejak itulah kaisar Yong Le sekaligus menjadi Kaisar di dunia dan "Dewa dilangit". Orang-orang tidak berani menentangnya lagi dan patung ini sampai sekarang masih ada dikelenteng Zi Xiao Gong digunung Wu Dang. Para pematung lain kemudian menjadikan patung tersebut sebagi model patung Xuan Tuan yang baku, sehingga patung-patung yang muncul kemudian berbentuk seperti itu. Patung Xuang Tian yang kita lihat di Welahan dan kelenteng Tay Kak Sie Semarang juga bergaya demikian, hanya oleh para pemula sering ditambah mahkota dari kertas yang diganti tiap-tiap tahun.

Wu Dang Shan, gunung suci para penganut Daoisme, terletak dipropinsi Hubei, Tiongkok tengah, sejak jaman Dinasti Tang kelenteng-kelenteng sudah mulai didirikan didana, tapi pembagunan besar-besaran adalah pada masa pemerintahan Kaisar Yong Le pada jaman dinasti Ming. Tidak mengherankan karena Xuan Tian Shang Di diangkat sebagai Dewa pelindung Kerajaan. diantara kelenteng-kelenteng disana yang terkenal adalah Yu Xu Gong (Giok Hi Kiong-Hokkian) yang terletak dibagian barat laut puncak utama Wu Dang Shan, bangunannya bergaya istana Beijing lalu adalagi Yu Zhen Gong yang dibangun pada tahun Yong Le ke 15. Kelenteng ini terletak dikaki utara Wu Dang Shan, disini terdapat pemujaan dan patung Zhang San Feng (Thio Sam Hong-Hokkian) pendiri persilatan cabang Wu Dang (Bu Tong Pay-Hokkian).

Kelenteng Zi Xiao Gong terletak dipuncak timur laut, bangunan kuil inilah yang paling lengkap dan merupakan pusat dari keseluruhan rangkaian tempat ibadah digunung itu, patung perunggu Zhen Wu Da Di hasil pahatan Guru Ji itu ditempatkan disini. Dikelenteng ini anda akan melihat juga lambang gunung Wu Dang Shan yaitu patung kura-kura dan ular, patung logam itu menggambarkan seekor kura-kura sedang dililit erat-erat oleh seekor ular. katanya sang ular bermaksud memaksa sang kura-kura memuntahkan semua isi perutnya.

Menurut kepercayaan, kura-kura itu berasal dari perut besar (maag) dan sang ular dari usus Zhen Wu, yang berubah rupa. Dikisahkan suatu ketika dalam samadhinya yang tanpa makan dan minum, Zhen Wu alias Xuan Tian merasakan usus dan lambungnya sedang bertengkar, rupanya rasa lapar yang amat sangat menyebabkan kedua organ itu saling salah menyalahkan, Zhen Wu menyadari kalau hal ini dibiarkan dapat mempengaruhi ketentraman batinnya. Dalam kejengkelannya, ia lalu membelah perutnya dan mengeluarkan kedua anggota badan itu, lalu dilemparkan ke rerumputan dibelakangnya, kemudian seperti tanpa terjadi sesuatu ia melanjutkan samadhinya.

Sang perut besar (lambung) dan usus karena tiap hari mendengarkan Zhen Wu membaca ayat-ayat suci Dao, lama kelamaan memiliki tenaga gaib juga, keduanya lalu berubah jadi kura-kura dan ular dan menyelinap turun gunung untuk memakan ternak dan juga manusia. Zhen Wu yang telah menjadi dewa sangat murka akan kejadian ini, dengan pedang terhunus dan mengendarai awan ia turun gunung, tebasan pedangnya dipunggung sang kura-kura meninggalkan bekas sampai sekarang, sejak itu punggung kura-kura tampak guratan-guratan seperti bekas tebasan pedang. Dengan tali wasiat diikatnya leher sang ular, sehingga sejak itu leher ular menjadi lebih kecil dari tubuhnya.

Kura-kura dan ular setelah ditaklukkan memperoleh pangkat "Erjiang" yang berarti "dua panglima" dan menjadi landasan tempat duduk Zhen Wu, tapi sang kura-kura rupanya masih belum hilang watak silumannya, hal ini diketahui oleh Zhen Wu, beliau lalu memerintah sang ular melilit tubuh kura-kura erat-erat, agar segala barang yang pernah ditelannya dimuntahkan kembali, dan supaya mengungkapkan semua kejahatan yang telah dilakukannya. Patung dari kura-kura dan ular ini sampai sekarang masih ada diruang belakang kelenteng Zi Xiao Gong dan selanjutnya dijadikan logo yang melambangkan gunung Wu Dang Shan.

Masih ada satu peninggalan penting yang ada sangkut pautnya dengan Zhen Wu Da Di, yaitu sebuah sumur yang dinamakan Mo Zhen Jing (Sumur tempat mengasah jarum). Konon pada waktu Zhen Wu sedang melakukan tapa digunung ini hatinya terasa goyah, ia lalu memutuskan untuk lari meninggalkan tempat itu sampai ditepi sumur ini ia melihat seorang wanita tua sedang mengasah alu besi. Zhen Wu merasa heran lalu menanyakan apa maksud nenek itu mengasah alu besi, dengan tertawa si nenek berkata bahwa ia sedang mengasah alu untuk membuat jarum sulam, mendengar jawaban ini Zhen Wu baru menyadari maksud yang terkandung dibalik perkataan sang nenek. Segera ia kembali ke atas gunung untuk melanjutkan tapanya. Nama "mo-znen-jing" dengan demikian menjadi terkenal. Kini didekat sumur itu dibangun ragon dan patung seorang nenek tua yang mengasah alu.

DEWA & DEWI KELENTENG Part 3

PENGERTIAN TENTANG TUHAN 
DIDALAM PEMUJAAN KELENTENG

Pengertian Tuhan dalam kepercayaan Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain, dianggap sebagai Pencipta Alam semesta dan segala Isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai "Tian" (Thian-Hokkian) atau "Shang Di" (Siang Te-Hokkian). Tian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini, sebab itu kedudukanNya berada ditempat yang paling agung, sedang para dewa dan malaikat yang lain adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan dialam semesta ini, sesuai dengan fungsinya masing-masing.

PEMUJAAN TIAN DAN SHANG DI

Secara umum orang beranggapan bahwa "Tian" dan "Shang-di" adalah tidak berbeda, sebetulnya kedua istilah ini memiliki kandungan arti yang tidak sama. Orang Tionghoa umumnya percaya bahwa alam semesta ini selalu terdiri dari dua unsur yaitu unsur Negatif dan Positif atau secara umum disebut "Yin dan Yang" (Im-yang_Hokkian). Kepercayaan akan Yin dan Yang ini berlaku untuk semua hal, termasuk kepercayaan akan dunia fana dan alam baka, roh jahat (para siluman, iblis, saitan dan lain-lain). Didalam sistim pemerintahan, hal yang selalu bersifat dua ini tercermin dari adanya pemerintahan di dunia dan pemerintahan di sorga yang dilakukan oleh para dewata yang dipuncaki oleh Shang-di. Rakyat percaya bahwa pemerintahan surga memiliki struktur yang sama dengan sistim pemerintahan didunia. kalau pemerintahan dunia terdiri dari Kaisar, para keluarganya, perdana menteri, menteri-menteri sipil dan militer, menteri bagian upacara, pertanian dan lain-lain, maka pemerintahan surga pun dipimpin oleh Shang-di dan dibantu para dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur tata tertib dialam semesta ini. Sebab inilah maka para Huang-di (Kaisar) yang di bumi merasa perlu untuk memuja Shang-di (Kaisar yang berkedudukan diatas) untuk memohon perlindungan dan berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan dimayapada ini agar selalu selaras dengan kehendak shang-di.

Sebetulnya istilah "Tian" berarti tempat tinggal Shang-di, tapi karena kebingungan akan makna dan kekurangan pengetahuan akan bahasa kuno, maka tempat tinggal atau benda milik roh suci itu seringkali dipersonifikasikan dan dipuja sebagai pengganti atau pelengkap roh suci itu sendiri. Karena itulah, menurut E. T. C. Wernet dalam bukunya "Myths and Legends of China", Tian kemudian dipuja dan diwujudkan sebagai Shang-di sendiri. Jadi pemujaan Shang-di sudah ada terlebih dulu sebelum hal yang sama dilakukan terhadap "Tian".

Pemujaan terhadap Shang-di hanya boleh dilakukan oleh kaisar dan para keluarganya, karena beranggapan bahwa Shang-di adalah leluhur mereka dan memberikan mandat untuk memerintah dibumi ini. Rakyat biasa tidak diperbolehkan memuja Shang-di, karena dengan berbuat begitu dapat dianggap mendudukkan dirinya sebagai keluarga kaisar, suatu pelanggaran yang diancam dengan hukuman mati. Ketaatan pada kaisar yang menamakan dirinya sebagai wakil Shang-di, dengan menghormat dan mematuhi segala kehendaknya sudah dianggap sebagai penghormatan dan pemujaan kepada Shang-di sendiri secara tidak langsung. Jadi, pemujaan terhadap Shang-di tidak dapat dilakukan secara resmi dalam suatu upacara seperti yang dilakukan oleh para pejabat kerajaan. Upacara sembahyang kepada Shang-di hanya boleh dilakukan oleh keluarga kerajaan dan dipimpin oleh kaisar sendiri sebagai pendeta agung, dibantu oleh anggota keluarganya dadn para petinggi kerajaan yang lain. Pada saat ini rakyat jelata tidak diperkenankan untuk menghadiri ataupun mengadakan sembahyang walau dikediamannya sendiri.

Karena "Tian" yang merupakan kediaman para roh-roh suci kemudian juga dipersonifikasi dan dipuja, maka rakyat jelata yang tidak mempunyai hak untuk memuja Shang-di lalu mengalihkan pemujaan kepada Tian. Walaupun kaisar juga memuja Tian, tapi rakyat jelata tidak dilarang untuk memujanya juga. Sembahyang terhadap Tian biasanya dilakukan oleh pihak kerajaan di altar kerajaan yang disebut "Tian-tan" yang ada di ibukota Beijing. Sedang rakyat biasanya mengadakan dirumahnya masing-masing atau ditepi jalan, didepan pintu tanpa upacara macam-macam, cukup dengan sebatang dupa yang disojakan ke arah langit.

Lama-kelamaan, terutama sejak jaman dinasti Song (960-1280 Masehi), batasan antara "Tian" dan "Shang-di" menjadi kabur. Arti dari kedua istilah itu menjadi tak jelas lagi perbedaannya, kekaburan arti ini terus menerus berlangsung sampai sekarang, apalagi kaisar-kaisar pada dinasti yang kemudian tidak begitu ketat lagi dalam memberlakukan larangan pemujaan Shang-di oleh rakyat. Akibatnya orang kebanyakan berkata bahwa mereka mengadakan persembahan sederhana kepada Shang-di pada waktu menyalakan dupa dan lilin, padahal sebetulnya ia tidak berhak berbuat begitu, walaupun sangat menghormatinya, ia hanya tahu bahwa Tian adalah Shang-di dan Shang-di adalah Tian.

SEMBAHYANG UNTUK MENGHORMATI TIAN

Seperti telah diuraikan di atas, akhirnya tidak ada batasan lagi antara istilah Shang-di dan Tian. Sebutan Tian yang kemudian secara lebih akrab disebut Tian-gong (Thian-kong_Hokkian) menjadi istilah yang umum apabila kita menyebut Shang-di. Pemujaan terhadap Tian-gong ini kemudian meluas sampai kegolongan masyarakat yang paling bawah seperti petani dan lain-lain, bahkan kemudian muncul istilah "Chu Jiu Tian-gong Sheng". Istilah ini sangat populer di propinsi Fujian (Hokkkian) dan Taiwan, mempunyai arti bahwa pada tanggal 9 bulan pertama Imlik adalah ulang tahun Tian-gong, sebab itu masyarakat di dua tempat itu mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Tian, yang disebut "Jing Tian-gong" (King Thi-kong - Hokkian) Upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada pesta menyambut musim semi yang berlangsung selama 5 hari.

Pada tanggal 9 bulan pertama Imlik itu, upacara sembahyang dilakukan mulai dari kalangan atas sampai orang-orang miskin sekalipun. Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah pedupaan kecil yang digantungkan didepan pintu rumahnya dan menyalakan lidi dupa dari pagi sampai tengah malam terus menerus. bagi orang yang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah dan khusuk, sebuah meja besar yang di keempat kakinya diletakkan diatas dua buah bangku panjang, kemudian diatas meja tersebut diatur tiga buah "Shen-wei" (tempat roh) yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling diletakkan, barulah kemudian di depan shen-wei dijajarkan tiga buah cawan kecil berisi teh, tiga buah mangkuk yang berisi misoa yang diikat dengan kertas merah. Sesudah itu enam macam masakan vegetarian (tanpa daging) dan lima macam buah diatur dibagian depan, inilah yang disebut "Wu-guo-liu-chai" (ngo koliok jay-Hokkian) yang berarti 5 macam buah dan 6 macam sayur, yang menjadi dasar utama dalam penataan barang sesaji upacara sembahyang gaya Tionghoa. Di bagian paling depan dipasang lilin 2 batang, dibawah meja utama yang diletakkan diatas bangku panjang ini terdapat sebuah meja kecil, sesajian yang terdiri dari ikan, ayam dan kepala babi dan lain-lain diletakkan di atasnya. Sesajian yang terdiri dari lima macam hewan ini disebut "wu-xing" (ngo-sing_Hokkian), kemudian masih ditambah lagi dengan beberapa benda sesaji seperti arak dan Kue kura-kura yang berwarna merah, konon sesajian meja baian bawah ini diperuntukkan para malaikat pengawal Tian-gong.

Sehari sebelum upacara sembahyang dimulai, seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas dan ganti baju. Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam, dimulai dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya, semuanya melakukan "San-gui-jiu-kou" (Sam kui kiu khou-Hokkian) yaitu tiga kali berlutut dan sembilan kali menyentuhkan kepala ke tanah, sesudah selesai baru kemudian kertas emas yang dibuat khusus lalu dibakar bersama dengan tempat roh yang terbuat dari kertas warna-warni. Petasan kemudian dipasang untuk mengantar kepergian para malaikat peng-iring. Dikalangan Tionghoa perantau di indonesia, sembahyang ini dikenal dengan sebutan "Sembahyang Tuhan Allah", dan dilakukan dengan penuh kekhidmatan.

Tak jelas kapan masyarakat propinsi Fujian memulai sembahyang ini, sebuah sumber mengatakan bahwa sembahyang Tuhan Allah baru mulai ada pada jaman dinasti Qing. Seperti diketahui bahwa Fujian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia pada kerajaan Ming. Pada waktu pasukan Manzhu (Qing) memasuki Fujian mereka dihadapkan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat dan sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan dipatahkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Fujian dapat dikuasai oleh pihak Qing. Selama terjadinya kekacauan itu banyak rakyat menyembunyikan diri didalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh disana, didalam rumpun tebu itu pulah mereka melewatkan malam tahun baru Imlik, setelah keadaan aman, berbondong-bondong mereka keluar dan kembali kerumahnya masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bahaya maut akibat bencana perang itu mereka lalu mengadakan sembahyang "Jing Tian-gong" pada tanggal 9 bulan 1 Imlik itu, sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Tian.

Dari contoh diatas ini jelas bahwa sebetulnya orang Tionghoa percaya akan Tuhan yang disebutkan sebagai Shang-di atau Tian-gong, hanya konsepsinya saja yang berbeda dengan agama bangsa-bangsa lain. Hanya bagi mereka Tuhan mempunyai pembantu-pembantu yang terdiri dari pelbagai dewa yang mempunyai jabatan tertentu, dan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap perbuatan manusia dalam lingkungan kekuasaan dan wilayah masing-masing. Maka dengan begitu jika ada orang Tionghoa yang bersembahyang dikelenteng, ini bukan disebabkan mereka pecaya tahayul, melainkan disebabkan karena ia hendak menghadap kepada salah satu diantara sekian banyak pembantu Tuhan didunia ini untuk keperluan tertentu atau sekedar menumpahkan perasaan hatinya. Demikian dikatakan oleh seorang Sinolog Indonesia kenamaan Yunus Nur Arif (Nio Yu Lan) dalam bukunya Peradaban Tionghoa selayang pandang.

YU HUANG DA DI BUKAN TUHAN YANG MAHA KUASA

Umumnya apabila orang menyebut Shang-di atau Tian-gong, mereka mengacu pada suatu nama yaitu Yu Huang Shang Di (Giok Hong Siang Te-Hokkian) yang dianggap sebagai Tuhan sebagaimana halnya orang Israel menyebut Yehowa. Yu Huang Shang Di ini bertahta dilangit tingkat ke 33 disebuah istana yang disebut "Ling Xiao Bao Tianyang berarti Istana halimun mujijat". Biasanya didalam kelenteng, tidak terdapat gambar atau area pemujaan Yu Huang Shang Di untuk bersembahyang padanya cukup disediakan sebuah pedupaan besar yang terletak didepan ruang utama. Pedupaan ini dinamakan "Tian-Gong-lu". Pada waktu bersembahyang mula-mula kita harus membakar dupa dan menancapkan ditempat itu terlebih dahulu sebelum bersembahyang ditempat lain. Ini mempunyai maksud untuk mohon perkenan Tian agar diijinkan menemui pembantunya yang berada dikelenteng tersebut.

Tapi ada pula kelenteng yang khusus memuja Yu Huang Da Di, menampilkannya dengan wujud seorang kaisar yang berpakaian kuno, tangannya memegang sebilah "hu" (bilah dari gading atau sejenisnya yang digunakan oleh menteri-menteri jaman kuno untuk menghadiri sidang kerajaan). Timbul suatu pertanyaan, mengapa Yu Huang Shang Di digambarkan dengan membawa "hu"? Padahal "hu" hanya dibawa oleh para menteri pada saat menghadap Kaisar, apakah ini tidak berarti bahwa sebetulya Yu Huang masih mempunyai atasan lagi, kepada siapa ia menghadap ? Apakah masih ada Shang Di lain yang menjadi atasannya ? Hal ini memang sangat menggelitik untuk diteliti.

Di kalangan rakyat, tidak pelak lagi Yu Huang Shang Di lah yang dianggap penguasa tertinggi alam semesta ini. Menurut E.T.C. Wer-ner dalam "Myths and legends of China", pemujaan Yu Huang baru dimulai pada jaman Kaisar Zhen-zong dari dinasti Song (10°5 M) Tapi apabila kita menengok dalam kisah yang dianggap sebagai riwayat Yu Huang Shang Di, kita akan memperoleh bukti bahwa sesungguhnya Yu Huang diangkat dari kalangan manusia, yang karena mempunyai perilaku sangat luhur lalu ditempatkan pada kedudukan yang sekarang. Dalam kisah dikatakan bahwa ia adalah seorang Pangeran dari negeri yang disebut Guang Yang Miao Luo Guo yang kemudian meninggalkan tahta kerajaan dan menjadi per-tapa digunung Pu Ming Shan sampai memperoleh kesempurnaan.

Di dalam kitab suci "Yu Huang dan Di Mu" (Giok Hong dan Te Bo-Hokkian) disebutkan Tai-Ji (Thay-kek_Hokkian) atau Maha-ada sebagai permulaan langit dan bumi; Wu-ji (Bu-kek_Hokkian) atau Maha-kosong sebagai penghabisannya langit dan bumi. Tai-ji dan Wu-ji sama-sama diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, merupakan masa yang tidak selalu kekal. Timbulnya Wu-ji berarti musnahnya Tai-ji, sedangkan timbulnya Tai-ji berarti musnahnya Wu-ji.

Langit Bumi adalah unsur, mewujudkan alam semesta dan merupakan pokok penciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa pada Tai-ji Maha-ada. Sebelum menciptakan Langit dan Bumi, Tuhan Yang Maha Kuasa terutama menciptakan Dewa Penguasa atas Langit dan Bumi, sebagai pengemban tugas besar Alam-semesta dalam mewujudkan Sarwa Alam Sempurna. Dalam hal ini Yu Huang adalah sebagai Dewa Yang Maha Agung Penguasa Langit dan dipuja sebagai Tian-gong atau Bapak Langit.

Dalam Kitab suci "Shen Yan Jue" (yaitu kitab doa untuk memuji Yu Huang) juga disebutkan bahwa Yu Huang diangkat menjadi Penguasa Langit setelah semasa hidupnya mengorbankan diri untuk menyelamatkan manusia dari bencana banjir yang dahsyat. Dari kedua kitab suci ini, jelas bahwa sesungguhnya Yu Huang diangkat dari kalangan manusia karena pribadinya yang luhur. Ia adalah Dewata tertinggi sebagai pelaksana pemerintahan alam semesta, dan mewakili Tuhan dalam memerintah Semsta alam. Sebab itu ia ditampilkan dengan memegang "hu" yang digunakan dalam upacara menghadap atasannya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.

Berbagai Sebutan Terhadap SHANG DI

Shang-di, Tuhan, Allah atau apalah namanya adalah sebutan untuk Roh suci yang mempunyai kedudukan paling tinggi dan merupakan Pencipta alam semesta serta semua isinya, dalam bahasa Tionghoa Shang-di berarti Kaisar yang bertahta diatas. Secara ringkas sifat Shang-di dapat dikatakan sebagai berikut :
  • Paling mulia dan paling terhormat
  • maha pengasih dan maha penyayang
  • menguasai yang tidak ada maupun yang ada
  • menguasai yang bergerak dan tidak bergerak
Dua kalimat yang pertama adalah merupakan penjabaran dari kata "Shang" (atas), sedangkan dua kalimat yang kedua menerangkan sifat "Di" (Kaisar). 

Maha pengasih dan Maha Penyayang berarti juga maha pemurah dan pengampun, Maha mulia dan paling tinggi, tidak ada yang lebih tinggi dari Dia. Paling terhormat dan tidak ada yang lebih terhormat dari dia, dan dia paling abadi. Memerintah atau menguasai yang ada (Berarti Tai-ji) dan yang tidak ada (berarti Wu-ji). Melihat sifat-sifatnya yang begini, jelas Yu Huang Da Di, atau sering juga disebut Yu Huang shang Di, yang walaupun memiliki sebutan Shang-di juga belum pantas mendudukinya. Di dalam cerita-cerita rakyat seringkali Yu Huang Da Di, dilukiskan sebagai seorang kaisar yang kadang-kadang kurang bijaksana dan seringkali binggung dalam menghadapi persoalan-persoalan. Didalam cerita Xi You Ji misalnya ia digambarkan sebagai tidak berdaya menghadapi si Kera Sakti Sun Wu Kong, sehingga terpaksa minta bantuan sang Buddha Sakyamuni.

Didalam buku-buku kuno hal-hal yang menyangkut Shang-di dan sebutan-sebutan kepadanya memang banyak disebut, dalam Yi-jing (Book of chance) ada kata-kata begini : ".........kedudukan meningkat karena Shang-di, ...... dapat menikmati hidup karena Shang-di..." Buku dari dinasti Xia terdapat sebutan "Shang-di yang maha mulia", dari kitab dinasti Zhou ditemukan kata-kata : "Dengan penuh rasa hormat mengabdi kepada Shang-di". Di dalam Zhong-yong disebutkan : "........ sebab itu kita harus bersembahyang kepada Shang-di". Kitab Meng-zi mengatakan : "..... sebab itu kita harus mengabdi pada Shang-di...". Didalam kitab Xiao-ya terdapat sebutan "Ming Ming Shang Di", di dalam Da-ya disebut "Tang Tang shang Di" Sebutan "Wei Huang Shang Di" terdapat dalam Tang gao, dan "Huang Tian Shang Di" disebut didalam kitab Zhao-gong. Demikianlah dengan jelas telah kita ketahui bahwa Shang-di dan penghormatannya sudah dikenal sejak jaman purba.

Walaupun sudah banyak disebut dalam kitab-kitab kuno, tentang siapa yang dianggap sebagai Shang-di, di dalam Daoisme pun tidak selalu seragam. Dao-jiao (Agama berdasarkan Daoisme) yang didirikan oleh Zhang Dao-ling mula-mulanya menyebut Lao-zi sebagai yang tertinggi seperti yang dicantumkan dalam "Kisah-kisah dari catatan sejarah". kaum tai-ping-dao dan Tian-shi-dao jelas-jelas menyebutnya sebagai Pencipta Alam Semesta, dan kitabnya dianggap sebagai kitab suci. Sejak itulah Lao Zi anggap sebagai Shang Di yang punya kedudukan tertinggi dan disebut Wu Shang Da Tian-Zun (Yang Maha Mulia dan Tiada yang lebih tinggi). Dalam Lao-zi nei-zhuan (Kisah-kisah tentang Lao Zi) disebutkan "Tai Shang Lao Jun, aslinya bernama Li Er alias Bo-yang, atau Z'nong-er, berasal dari negeri Chu. Ibunya hamil setelah intisari hati matahari yang berupa bintang memasuki mulutnya. Kehamilannya berlangsung selama selama 72 tahun. Lao Zi lahir dibawah pohon li melewati ketiak kiri ibunya. Ia kemudian memakai nama keluarga Li, karena pada waktu lahir ia sudah tua, maka disebut Lao Zi (Si anak tua). Karena telinganya berlubang tiga sebab itu ia disebut juga Lao Dan. Ia berdarah putih, bermuka warna emas...".
Wang qi dalam "Wen-xian tong-kao-lanjutan" menyebutkan bahwa Ge Zhi Chuan seorang pakar Daoisme jaman kuno berkata : "Lao Zi berkali-kali menjelma ke dunia, dan tiap kali selalu berganti nama, pada jaman Kaisar Huang Di ia menjelma sebagai Guang Cheng Zi, Jaman Kaisar Wen Wang dari Dinasti Zhou sebagai Xie Yi Zi seorang pengurus perpustakaan kerajaan. Kemudian pada masa Kaisar Wu Wang juga dinasti Zhou ia menjelma menjadi Yu Cheng Zi seorang menteri pembangunan. Lalu jaman Kaisar Kang Wang (Zhou) menjadi Guo Shu Zi, pada permulaan Dinasti Han ia turun sebagai Huang Shi Gong, pada masa pemerintahan Kaisar Wen Di, ia menjadi He Shang Gong".

Sesungguhnya kedudukan Lao Zi sangat tinggi dan sangat terhormat, masih ada lagi kisah yang mengatakan bahwa Lao Zi telah menciptakan San-qing (tiga sorga dalam kepercayaan Daoisme yaitu Yu qing, tai-qing dan Shang-qing). Karena itulah Lao Zi atau Tai Shang Lao Jun disebut sebagai Xuan Yuan Huang Di, tapi setelah munculnya Yuan Shi Tian Zun, pada jaman 6 Dinasti, nama Lao Zi mulai menurun....

Yuan Shi Tian Zun kemudian dianggap sebagai yang tertinggi, kelihatannya tokoh ini adalah hasil renungan dari para pakar Daoisme pada masa itu, menurut mereka Yuan Shi tidak mempunyai asal mula dan tidak mempunyai atasan, dari dialah semua mahluk berasal, ia dilahirkan dari intisari alam semesta dan merupakan permulaan dari semua yang ada. Seringkali nama Yuan Shi (yang berarti yang paling mula-mula) dikacau balaukan dengan Yu Huang da Di, tapi sesungguhnya kedudukan Yuan Shi adalah lebih tinggi dari Yu Huang, tapi kalau kita telaah riwayat Yuan Shi Tian Zun seperti yang termuat dalam kitab Zhen-zhong Shu karya Ge Hong, seorang sarjana Daoisme terkemuka, bahwa Yuan Shi Tian Zun lah yang kemudian dipuja sebagai Tian Fu (ayahanda Langit). Tapi Tian Fu samakah dengan Shang Di, hal ini juga tidak dapat diketemukan penjelasan yang memuaskan.

Masih ada sebutan lagi yang mengacu pada Penguasa Langit tertinggi, yaitu san Guan Da Di. sebutan ini muncul pada akhir Dinasti Han, yang dipopulerkan oleh kaum Tai Ping Tao (salah satu sekte Dao-Jiao) yang dipimpin oleh Zhang Jiao. Tian Guan (Penguasa Langit) salah satu dari San Guan Da Di itu seringkali dengan Yu Huang Da Di.

Kong Zi hanya sedikit menyinggung tentang Shang-di, dalam ajarannya ia menganjurkan pengikutnya untuk sepenuhnya percaya pada Huang Tian Shang Di. Kong Zi lah yang mulai menata kembali upacara-upacara sembahyang kepada Shang-di, pada prinsipnya semula yang dipuja adalah semesta alam yang di dalamnya terdapat tiga unsur. tiga unsur ini yang kemudian dikenal sebagai Tian Huang (kaisar Langit), Ti Huang (Penguasa Bumi) dan Ren Huang (Kaisar Manusia). Dari istilah Tian Huang inilah kemudian Kong Zi menganjurkan untuk memuja Huang Tian Shang Di sebagai Tuhan. Para kaisar dari berbagai dinasti mengadakan penghormatan kepada Huang Tian Shang Di ini. Di altar agung kerajaan di Beijing yang disebut Tian-tan, tempat para kaisar dari Dinasti Ming dan Qing mengadakan puja bhakti kepada Shang-di, yang dianggap sebagai leluhurnya, terdapat sebilah papan suci yang bertuliskan nama Huang Tian Shang Di. Hanya itulah yang disebut oleh Kong Zi dalam ajarannya tentang pemujaan kepada Shang-di, selanjutnya ia mengajarkan bahwa : Melakukan perintah Tuhan dinamakan "Watak Sejati". Berbuat berdasarkan watak sejati adalah Dao, dan mengajarkan dan mengalami Dao disebut Agama.

Tian Dao, suatu aliran agama yang merangkum tiga ajaran yaitu Buddhisme, Daoisme dan Konfusianisme, paling tegas dalam menunjukkan nama Shang-di. Menurut mereka, Shang-di atau Tuhan yang Maha Kuasa adalah Ming-ming Shang Di yang dalam bahasa Hibrani disebut Yehowa, dan Allah dalam bahasa Arab. Alam semesta dibagi tiga lapis yaitu : Li-tian (Nirwana) yang paling tinggi, lalu kemudian Qi-tian (Khayangan) dan yang paling bawah adalah Xiang-tian (Alam rupa) tempat manusia dan yang lain. Ming-ming Shang Di berkedudukan di Li-tian, sedangkan Yu Huang Shang Di adalah yang tertinggi ditingkat Qi-tian, ia dibantu para dewa-dewi dan malaikat-malaikat dalam melaksanakan pemerintahan alam semesta. Sebab itu dia adalah menteri dari Ming Ming Shang Di. Kedudukan Yu Huang Da Di dijabat secara berganti-ganti dan masa jasa jabatannya terbatas.

Ming-ming Shang Di mengeluarkan firmannya yang disebut Dao, dan Ddao inilah yang menjadi sumber dari segala kebenaran dan sumber kehidupan dari semua mahluk yang ada di dalamnya, sebab itu didalam kehidupannya manusia yang meninggalkan Dao bagaikan kereta api yang keluar dari rel atau ikan terpisah dari air, Dao harus disebar luaskan diantara umat manusia, karena dewasa ini manusia makin cenderung untuk berbuat jahat tanpa menghiraukan ajaran-ajaran Tuhan. Dao harus diajarkan agar manusia kembali menjadi baik dan kembali ke watak dasarnya yang suci supaya dunia ini kembali tenang dan damai, sebab itulah kaum Tian Dao sangat aktif dalam menyebarkan ajarannya.

Karena yang akan kita bahas ini terutama adalah asal usul Dewa Dewi Kelenteng yang terutama dipuja oleh kalangan awam, maka dalam urutan kedewaan kami tetap menempatkan Yu Huang Da Di sebagai yang teratas sesuai dengan kepercayaan rakyat pada umumnya.


DEWATA PENGUASA LANGIT

Para dewata ini mempunyai kekuasaan di seluruh alam, dan dipuncaki oleh Yu Huang Da Di sebagai dewata tertinggi yang melaksanakan pemerintahan alam semesta dan dibantu oleh para dewata lain seperti Dewa Halilintar, Dewa Bintang, dan lain-lain. Tugas mereka adalah mengatur semua yang ada dikawasan langit seperti peredaran bintang, keamanan khayangan, hembusan angin dan berkelebatnya kilat dan lain-lain gejala alam.

1.YU HUANG DA DI
Yu Huang Da Di (Giok Hong Tay Tee-Hokkian), biasanya disebut sebagai Tian Gong Zu (Thian Kong Co-Hokkian), kadang-kadang disebut sebagai Yu Huang Shang Di (Giok Hong Siang Te-Hokkian) yang secara harafiah berarti "Kaisar Pualam", sebab Pualam atau Kumala (Yu-Mandarin, Giok-Hokkian) merupakan lambang kesucian. Beliau dianggap sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan alam semesta, bertahta di khayangan.

Pada jaman dahulu hanya kaisar saja yang boleh melakukan upacara sembahyang kepada-Nya, menteri atau rakyat biasa tidak diijinkan. Pada masa Zheng Cheng Gong, di Taiwan pernah melakukan sembahyang kepada Yu Huang untuk mewakili kaisar dinasti Ming. Tiongkok pada masa itu sudah dikuasai oleh bangsa Manzhu, dinasti Ming sudah runtuh. Tapi di Taiwan, Zheng Cheng Gong masih tetap berkuasa dan menjalankan pemerintahan sebagai menteri kerajaan Ming, karena Kaisar Ming sudah tiada maka untuk bersembahyang kepada Tian dia merasa perlu mewakili. Barulah sesudah keturunan Zheng Cheng Gong menyerah kepada pemerintah dinasti Qing (Manzhu), upacara ini dihentikan. Setelah itulah meskipun tidak diperkenankan melakukan upacara sembahyang kepada Tian, rakyat kebanyakan melakukan sembahyang dirumah masing-masing dihadapan pedupaan pemujaan, untuk bersujud kepada Tian dan berdoa memohon keselamatan.

Pada masa pertengahan dinasti Qing, karena kerajaan sibuk memulihkan keamanan diberbagai propinsi di Tiongkok, maka pemujaan resmi tidak dilakukan lagi. Rakyat lalu melakukan pemujaan di kelenteng dimana Zheng Cheng Gong melakukan upacara tersebut, dan secara resmi ditempatkan altar untuk Tian dikelenteng tersebut, yang lazimnya disebut Tian Gong Miao.

Bersamaan waktunya juga didirikan kelenteng Yu Huang Gong, digunung Jian San, dan pada tahun Jia Qing ke-5 ditambah sebuah area Yu Huang Shang Di. JAdi sekarang di Taiwan terdapat dua buah kelenteng untuk memuja Yu Huang Da Di. Pengunjung kedua kelenteng ini sangat banyak, terutama pada tanggal 9 bulan 1 Imlik, yang dianggap hari ulang Tahun Yu Huang Da Di, kecuali itu perkumpulan-perkumpulan swasta yang memuja Yu Huang pun mulai banyak diantaranya yang terkenal adalah perkumpulan Jing Xian Tang yang didirikan pada tahun Xian Feng yang ke-8.

Pemujaan terhadap Tian ini merupakan perwujudan pandangan orang Tionghoa tradisional tentang bersatu padunya langit (Tuhan) dan manusia, sebab itu di ruang belakang kelenteng ada papan bertuliskan "Tian Di Yi Li" (yang berarti langit/Tuhan dan bumi punya tata krama yang sama). Kesemua ini punya makna mendidik masyarakat untuk memberkahi siapa saja yang berbuat baik dan akan menghukum yang berbuat jahat.

Asal usul pemujaan Yu Huang yang kemudian banyak memperoleh gelar kehormatan, kira-kira sebagai berikut : Kaisar Zhen-zong dari dinasti Song (A.D 1005) terpaksa harus menanda tangani kapitulasi damai dengan orang Tungus (Ji-tan). Karena hal yang memalukan ini kerajaan mengalami krisis kepercayaan dari rakyat, sehingga dukungan dari massa dikhawatirkan merosot. Untuk menenangkan rakyatnya sang kaisar berlaku seakan-akan ia bisa melakukan komunikasi langsung dengan dewata dilangit. Pada suatu hari, pada bulan yang kesepuluh tahun 1012, dikumpulkannya semua menterinya dan beliau lalu bersabda "Di dalam mimpiku, seorang Dewa telah datang kepadaku dengan membawa sepucuk surat dari Yu Huang Da Di dan mengatakan bahwa leluhurku akan datang sendiri dan dipertemukan dengan aku".

Sungguh ajaib apa yang dikatakannya menjadi nyata, Song Tai-zu (Pendiri dinasti Song) tiba-tiba menampakkan diri di depannya Baginda Kaisar Song Zhen-song sangat heran sekali. Sejak saat itulah lalu diadakan sembahyangan pemujaan terhadap Yu Huang Shang Di, disamping catatan sejarah ini masih ada sebuah legenda yang menjelaskan asal-usul Yu Huang.

Dikisahkan pada sebuah negeri yang bernama Guan Yan Miao Luo Guo, Raja Jing De dan permaisurinya Bao Yue sedang bersusah hati. Sudah bertahun-tahun mereka mendambakan putra, tapi tak kunjung tiba juga. Sudah berpuluh-puluh orang pendeta  Taoist didatangkan untuk memimpin upacara sembahyang kepada Penguasa Alam, supaya permohonannya terkabul, tapi hasilnya nihil. Pada suatu malam sang permasuri bermimpi, dilihatnya Lao Jun sedang menunggang seekor naga sambil menggendong seorang anak laki-laki. Dewa itu terbang kearahnya, segera permaisuri memohon agar anak laki-laki itu diberikan kepadanya sebagai penerus tahta kerajaan, "Aku tidak berkeberatan" kata Lao Jun ini terimalah, sang permaisuri segera berlutut menghaturkan terima kasih. Ketika sadar dari mimpinya dia mendapati dirinya berbadan dua. Pada akhir tahun seorang pangeran telah lahir, sejak usia masih muda sekali sang pangeran sudah menunjukkan suatu pribadi yang welas asih terhadap sesamanya yang sedang dirundung malang, terutama terhadap orang miskin. Setelah ayahanda meninggal, beliau lalu naik tahta, tapi hanya beberapa hari saja dia memerintah, beliau melepaskan kekuasaannya dan mengangkat seorang perdana menteri sebagai pengganti, lalu pergi bertapa di pegunungan Pu Ming dipropinsi Shanxi dan di pegunungan Xiu Yan dipropinsi Yunan. Setelah memperoleh kesempurnaan, hari-hari dilewatinya dengan menyembuhkan orang-orang yang menderita sakit. Pada saat menjalankan tugas kebajikan inilah beliau wafat. Kaisar Cheng Zong dan Hui Zong dari dinasti Song menganugrahi beliau dengan bermacam-macam titel antara lain YU Huang Da Di, yang tetap dipakai orang-orang sampai sekarang.

Kaum Buddist dan Taoist masing-masing mengaku bahwa Yu Huang adalah Tuhan mereka. Kaum Buddist menganggapnya sebagai Indra, dalam hal ini bisa dianggap Yu Huang adalah Dewasa Buddist yang dimasukkan dalam khasanah Dewa-dewa Taoist.

Yu Huang sering kali dianggap sebagai lambang akan kepercayaan alam semesta. Jing De, ayahnya adalah matahari dan sang permaisuri Bao Yue ibunya adalah lambang rembulan. Perkawinan mereka adalah melambangkan lahirnya kekuatan yang menyelimuti alam dengan kehidupan penuh kesuburan dan bunga-bunga.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More