Selanjutnya karena yang di jadikan Tumotowa kali ini adalah sebuah altar alamiah,berupa Batu besar yang memanjang dari Timur ke Barat,dan saat di jumpai di atasnya bertengger Burung Manguni sementara lainnya disekitar itu di tunggui ular hitam,maka kaum yg besar ini segera dinyatakan sebagai Watu Tumotowa Wangko ( mezbah Agung ). Dengan di pimpin Tonaas Walian Wangko ( Pada masa tertentu terdapat Pemimpin Pemerintahan yang sekaligus pemangku adat kepercayaan ). Merekapun melangsungkan upacara dengan kurban bakaran sangat banyak berupa sejumlah hewan hutan hasil buruan para Waraney. Di situlah dicetuskan "Nuwu i Tu'a" ( Amanat dari yang di tuakan ) atau yg kemudian lebih dikenal sebagai Amanat Watu Pinawetengan : Bahwa tanah ini adalah milik kita bersama, sesuai petunjuk sang manguni bagi bagikanlah tanah ini, rambahilah tapal-tapal baru lahan penghidupan, wahai pekerja! kuasai dan pertahankanlah wilayah, wahai satria! Agar keturunan kita dapat hidup dan memberikan kehidupan! Akad se tu'us tumou o tumou tou.
Batu / Watu Pinabetengan |
Mezbah utama ini kemudian disebut "Watu Pinawetengan" sebab dibatu inilah dirundingkan dan diamanatkan pembagian wilayah pemukiman kaum keturunan Toar Lumimuut. Seterusnya Watu Pinawetengan menjadi tempat pertemuan para pemimpin anak-anak suku bangsa Minahasa setiap kali menghadapi persoalan besar dan membutuhkan pengukuhan kembali janji setia Maesaan ( persatuan ). Namun kemudian, seiring tahun berganti tahun, abad berganti abad, Watu Pinawetengan sempat hilang ditelan bumi. Meski dipermukaan area tersebut para pemimpin adat dan generasi ke generasi selalu datang melangsungkan upacara. Pengalian atas batu tersebut baru dilakukan pd tahun 1888, sesuai hasil analisis J.A.T. Schwarz dan J.G.F. Riedel ( Masing-masing adalah putera dari Pdt. J.G. Schwarz dan Pdt. J.F. Riedel-dua misionaris yg berperan penting menginjili Minahasa ). Berdasarkan petunjuk sejumlah tuturan dan sastra lisan yg diwarisi oleh orang-orang tua. Bila kita menghayati nilai dan semangat Maesaan yang tetap dan semakin dibutuhkan di zaman modern ini. Salah satu amanat yang pernah dicetuskan para leluhur di watu pinawetengan, yakni Nuwu I Ngeluan: Bila kita bertumpuk,menyebarlah. Bila kita tersebar,tetap satulah kita dan selalu kembalilah membangun daerah kita tercinta Minahasa raya.
Watu Tumotowa didirikan oleh setiap komunitas orang minahasa dimanapun mereka mulai membuka pemukiman. Itu menjadi mezbah umat untuk memohon restu bermukim, semoga tanah dan air diberi berlimpah untuk sumber kehidupan. Dan untuk seterusnya digunakan sebagai tempat sekaum untuk berkomunikasi dengan Empung Wailan Wangko 'Tuhan Yang Maha Esa'.
Watu Tumotowa dari anak suku Tontemboan dan sebagian Toulour "Towa: memanggil, memohon hadirat Tuhan". Anak suku Tonsea : Watu Tumou. Orang Toudano : Panimbe, Tombulu : Watu Pahlalesan. Setiap hendak membuka pemukiman baru, para leluhur Minahasa melepaskan seekor ayam jantan ditempat yang telah dipilih. Dimana ayam itu pertama kali mengais / mencakar tanah, disitulah batu Altar didirikan. Dan rumah-rumah penduduk pun mulai didirikan disekitar area yang menjadi tempat suci tersebut. Di kakas, di permukaan batu yang merupakan titik awal pembangunan negeri itu tergurat bekas cakaran ayam (Kina'kas ni ko'ko'-dan menjadi asal mula nama negeri itu: Ka'kas). di Tompaso Baru, sebuah batu tumotowa terpahat ditebing batu, dan ini dipercaya oleh kalangan tertentu sebagai pemukiman mula dari keturunan Toar Lumimuut sebelum mereka pindah kekawasan Tonderukan dan sekitarnya.
Keistimewaan dari watu tumotowa di tompaso ini ialah, pertama : bahwa ia merupakan salah satu dari mezbah yang paling awal didirikan orang minahasa sebelum mereka memenuhi seluruh penjuru jazirah utara sulawesi dan mendirikan Watu Tumotowa di masing-masing tempatnya sampai menjadi banyak. Kedua : Watu yang sekarang terletak di tengah arena pacuan kuda ini dipercaya sebagai tempat upacara yang serangkaian dengan upacara besar di Watu Pinawetengan.
Jika diatas, di watu pinawetengan dipimpin Muntu-untu, pemimpin tertinggi yang kemudian menjadi Opo, Maka yang dibawah di watu tumotowa dipimpin oleh bawahan Muntu-Untu yakni Miyoh-Iyoh. Opo Mioyoh adalah Opo Bumi yang bersemayam didalam tanah. Istri Mioyoh adalah Tende Wene, Dewi Padi (wene:padi). Upacara upacara yang dilakukan di Watu Tumotowa maupun di Watu Pinawetengan memang senantiasa dikaitkan dengan permohonan untuk kesuburan dan keberhasilan panen.
0 komentar:
Posting Komentar