Kamis, 25 September 2014

DEWA & DEWI KELENTENG Part 2

WALAUPUN JAMAN BERUBAH, KEPERCAYAAN RAKYAT TIDAK PUDAR

Dari sejarah asal mula penduduk tiongkok daratan berdatangan ke Taiwan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, jelas bahwa pada saat masyarakat dan kebudayaan belum sepenuhnya berkembang, pemujaan roh telah memperkuat semangat juang dan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan-tantangan didaerah yang baru. Bersama itu, kegiatan pemujaan dewa-dewa kedaerahan juga memiliki manfaat untuk memperkokoh organisasi kedaerahan. Dengan kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan beserta ilmu kedokteran dan ketertiban hukum, semestinya kepercayaan rakyat mengalami kemunduran. Tapi seperti yang sekarang kita lihat di Taiwan, Singapura, Hongkong dan Indonesia, upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan rakyat khas Tionghoa itu, masih saja berlangsung dengan meriah dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan punah ditelan jaman. Malahan ada dewa-dewa yang setelah diberi tugas yang sesuai dengan jaman modern, pemujaannya makin meluas. Guan Di yang dulunya hanya sebagai Dewa Penyelamat bencana peperangan, sekarang ini dipuja sebagai Dewa Perdagangan. Ma Zu dan Wang Ye yang dulunya punya tugas khusus yaitu sebagai pelindung pelayaran dan pelindung dari wabah sekarang ini berubah menjadi dewa-dewi yang punya kemampuan yang lebih beraneka ragam.

Mengamati gejala-gejala ini, Prof. Li Yi Yuan menjelaskan : "Pada masa pendudukan jepang di Taiwan, penguasa Jepang berusaha menghapuskan pemujaan atas Dewa-dewa rakyat dan mengalihkan kepada Dewa-dewa Shinto. Tapi karena kepercayaan rakyat memiliki sejarah yang panjang, semangat pemujaannya tetap tidak dapat lapuk. Pada waktu Taiwan pulih kedaulatannya, dengan sendirinya upacara-upacara makin meriah, dan kelenteng pemujaan dewa-dewa rakyat bermunculan dimana-mana, karena hambatan sudah tidak ada. Di Tiongkok daratan juga demikian halnya, sepuluh tahun terakhir ini pemujaan rakyat, mengalami kemajuan pesat, apalagi dengan digalak-kannya upacara-upacara tradisionil untuk kepentingan pariwisata. Padahal pada masa sebelum itu, penguasa komunis selalu melarang kegiatan yang bersifat keagamaan. Tapi ketika disadari bahwa hal itu penting dan larangan dikendurkan maka upacara-upacara semakin meriah.

"Perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri seperti yang terjadi di Taiwan selama 30 tahun ini, telah membawa kemajuan pesat dalam bidang tehnologi, tapi hubungan antar manusia dan susunan strata masyarakat tidak sepesat itu perubahannya. Walaupun perdagangan maju, kemajuan ilmu kedokteran juga pesat, tapi ke-semua ini belum dapat memecahkan banyak masalah yang dihadapi masyarakat. Menghadapi keadaan yang begitu cepat berubah, orang di hinggapi kebingungan yang sangat rumit. Kesemuanya ini memerlukan pegangan spirituil. Pemujaan yang bersifat kepercayaan rakyat inilah yang kemudian menjadi salah satu sarana spirituil untuk melepaskan kebingungan mereka. Sebab itu upacara-upacara di kelenteng-kelenteng makin semarak. Tidaklah dapat dipungkiri, penganut kepercayaan rakyat umumnya adalah orang-orang dari kalangan yang bukan intelektual. Bagi kalangan yang termasuk intelektual lebih menyukai agama yang lebih terorganisir seperti Xuan-Yuan-Jiao, Fo Jiao, Dao Jiao Tian-Li Jiao dan lain-lain agama tradisionil".

Dari sudut ini kita tahu bahwa sesungguhnyalah pemujaan rakyat mempunyai manfaat sosial yang penting. Tapi bagaimanapun juga dalam masyarakat yang sedang bergerak kearah modernisasi segala bidang seperti sekarang ini, manfaat agama terutama sekali harus ditunjukan pada peningkatan kepribadian dan pembinaan moral agar para anggota masyarakat tahu membedakan hal-hal yang baik dan buruk, salah dan benar, serta indah dan jorok. Agama atau kepercayaan rakyat walaupun punya nilai-nilai yang berharga, tapi tak dapat dipungkiri dalam praktek banyak mengandung unsur-unsur shamanisme (semacam perdukunan), kepentingan komersial semata-mata serta hal-hal yang tidak masuk akal dan dibesar-besarkan. Terutama praktek shamanisme inilah yang tidak sesuai lagi dengan kehidupan modern sekarang ini, bahkan dapat menghambat kemajuan masyarakat.

Karena beberapa tahun ini keadaan ekonomi membaik, dan keamanan mantap, pandangan-pandangan yang mendasari pemujaan kepada para dewa atau roh suci juga perlahan-lahan mengalami perubahan. Dorongan untuk bersembahyang bukan lagi didasari atas keinginan untuk memohon keselamatan dan kesehatan, tapi telah bergeser oleh kearah kepuasan materi yang saling menguntungkan. Seorang pemuja menyediakan barang-barang sajian yang sangat mewah dan berlimpah, dengan harapan sang Shen-Ming membantu usahanya agar mendatangkan keuntungan berlimpah-limpah. Sifat pemujaan yang didasari sikap untuk memperoleh keuntungan materiil secara untung-untungan begini ini, jelas tidak bisa dibenarkan karena tujuan komersial semata inilah yang mengakibatkan agama rakyat atau Zhu-Xian Jiao ini sering kali terjerumus dalam berbagai praktek Shamanisme, lebih mengutamakan kemewahan upacara, dan sifat-sifat komersial lainnya, yang mengakibatkan munculnya kelenteng-kelenteng yang mewah tapi tak berbobot, rumah ibadah yang meriah seperti tempat hiburan dan upacara pemujaan yang dibarengi dengan pameran kekayaan serta jor-joran...... Gejala-gejala seperti inilah yang kelihatan tidak hanya di Taiwan, Hongkong, dan Tiongkok Daratan, tapi juga di Malaysia dan Indonesia. Terhadap hal-hal seperti inilah Zu Xian Jiao atau kepercayaan rakyat harus dihindarkan dan diperbaiki agar tidak terjadi kesenjangan dengan perkembangan masyarakat modern.

Untuk tetap mempertahankan keberadaan kepercayaan rakyat dalam masyarakat, kita harus berani menghilangkan bagian-bagian yang tidak bisa diterima akal dan logika, dan tahayul. Misalnya hal-hal yang bisa dipecahkan dengan masalah tehnik, sebaliknya malahan diselesaikan dengan petunjuk Ciamsi (Sair Ramalan), ini jelas tidak menurut logika. Pemujaan kepada para Shen-Ming seharusnya dapat memberi dorongan secara kejiwaan dan memperkuat mental si pemuja dan membuatnya waspada akan hal yang baik dan buruk, serta berhati-hati dalam mengarungi bahtera kehidupan. Misalnya seorang sopir yang seharusnya taat pada peraturan lalu lintas dan hati-hati dalam mengemudi tapi karena merasa telah membawa "Fu" (Hu) sebagai pelindung, lalu seenaknya saja malarikan kendaraannya, hal-hal seperti inilah yang harus dirubah....."

Demikianlah sekedar pandangan Prof. Li Yi-Yuan dari Akademi Sinologi jurusan Ethnologi dari Taipei, seperti dimuat dalam bukunya "Zhuang-yan de shi-jie". Semoga hal ini dijadikan bahan renungan para penganut kepercayaan rakyat untuk mewujudkan hal-hal yang lebih bermanfaat.


PENGARUH-PENGARUH DAOISME DAN KONFUSIANISME

Taoisme yang berpangkal pada ajaran Lao-Zi dan dikembangkan lagi oleh Zhuang-zi dan lain-lain, sebetulnya sudah terbentuk menjadi suatu lembaga agama yang khas Tiongkok, pada jaman dinasti Han timur. Zhang Dao Ling, pada tahun 143 Masehi mendirikan lembaga agama yang berdasarkan Daoisme untuk pertama kalinya, dalam sebuah gerakan yang disebut Huang Di Lao Zi, tapi barulah pada tahun 430 Masehi, Kou Qian Zhi berhasil menata kembali peraturan-peraturan upacara, dan menetapkan peringkat para dewatanya sehingga Daoisme menjadi suatu agama yang teratur, tapi sebagai pendiri agama berdasarkan Daoisme ini (disebut Dao-Jiao) tetap Zhang Dao Ling lah yang diakui, sebab itu kemudian beliau diberi gelar "Tian-Shi" yang berarti "Guru dari Langit".

Pada dasarnya Dao Jiao juga menerapkan asas "Jing Tian Zun Zu" yang berasal dari Konfusianisme rakyat sebab itu dengan sendirinya Dao-Jiao mempunyai banyak sekali Dewata, kecuali para Maha-Dewa yang telah ada dari permulaan alam seperti Yu Huang Da Di ,Tai Shang Lao Jun, Yuan Shi Tian Zun, dan lain-lain, juga dipuja para dewata yang diangkat kemudian. Para Dewa yang diangkat kemudian ini berasal dari orang-orang sejarah yang dalam hidupnya pernah berjasa bagi negara dan rakyat, dan orang-orang bijak lainnya. Teladan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang inilah yang kemudian dijadikan cerminan untuk kehidupan orang-orang jaman kemudian, sebab itu roh-roh leluhur, orang-orang besar jaman dahulu, para menteri bijaksana serta setia dan para pejuang yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk negara, kesemuanya ini dapat menjadi Dewa. Dalam perkembangannya kemudian, dewa-dewa Taoisme ini juga menjadi pujaan masyarakat luas, seperti Xuan Tian Shang Di, Ba Xian dan lain-lain. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dewa-dewa Dao-Jiao inilah yang paling banyak menempati pujaan dikelenteng, disamping dewa-dewa dari kepercayaan rakyat setempat.

Daoisme dikembangkan secara populer oleh Zhang Dao Ling dalam sebuah gerakan yang disebut Huang Di Lao Zi yang menggabungkan filsafat Yin-Yang, lima anasir (Wu-Xing) dan ajaran Lao-zi, ditambah dengan segala masalah yang meyangkut roh, kekuatan gaib dan mantera, perbintangan, ramalan nasib, feng-shui dan sebagainya. Pada dasarnya Daoisme lebih menekankan saling hubungan antara manusia dengan alam semesta yang pada dasarnya disebut konsepsi Tian-dao (Jalan Tuhan).

Sebaliknya ajaran Kong-zi atau Konfusianisme lebih menekankan hubungan antara para anggota masyarakat disatu pihak dan hubungan antara masyarakat dan Tian (Tuhan) dipihak lain. Sebab itu, kepercayaan akan "roh" (hun) dan "semangat" (po), bersama-sama dengan nilai-nilai dasar dari "bakti" (xiao) dan "kesetiaan" (zhong), meletakkan dasar bagi kebiasaan "pemujaan terhadap leluhur" menjadi inti dari tradisi Konfusianis.

Dalam ajaran Kong-zi, perhatian utama terhadap keberadaan manusia dipusatkan pada Ren-dao (jalan manusia). Ren-dao inilah yang mencakup keseluruhan ajaran kesusilaan Kong-zi, yang inti sarinya adalah 5 macam kebajikan yaitu :
  • Ren (Cinta kasih akan sesama)
  • Yi (Menjunjung tinggi kebenaran)
  • Li (Susila)
  • Zhi (Bijaksana)
  • Xin (Dapat dipercaya).
Lima macam kebajikan ini mendasari lima macam hubungan sosial yaitu :
  • Hubungan antara ayah dan anak
  • hubungan kaisar dan bawahannya
  • hubungan antara suami dan istri
  • hubungan antara saudara tua dan adik-adiknya
  • hubungan antara teman dan sanak saudara.
Hubungan-hubungan ini hanya akan berarti apabila betul-betul dilandasi dengan prinsip Ren-dao tadi.

Jadi apabila Daoisme memberi tekanan pada Tian-dao atau Jalan Tuhan, yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam semesta atau gejala-gejala alam diluar masyarakat manusia, Konfusianisme melengkapinya dengan Ren-dao (Jalan Kemanusiaan) yang menekankan hubungan atar manusia dan semua gejala dalam masyarakat. Kemudian Buddhisme pada dasarnya juga melengkapi Daoisme dan Konfusianisme dengan menggabungkan "Tian-dao" dan "Ren-dao" dalam suatu perwujudan yang merupakan perluasan dari "Jalan Tengah". Karena itulah Buddhisme yang dianut oleh masyarakat Tionghoa umumnya baik di Taiwan, Hongkong dan Asia Tenggara tidak sepenuhnya berdasarkan ajaran Buddha yang asli, juga bukan seluruhnya sama dengan yang ditafsirkan oleh para muridnya seperti yang tertulis dalam naskah bahasa Pali dan Sanskrit, tapi telah tercampur dengan unsur-unsur dari Taoisme dan Konfusianisme.

TIGA AJARAN ATAU SAN-JIAO
Tiga ajaran utama, yaitu Buddhisme, Daoisme dan Konfusianisme yang menjadi inti dari agama orang Tionghoa seringkali juga disebut sebagai San Jiao (Sam Kauw-Hokkian) yang berarti "Tiga Ajaran". Sebagai perwujudan dari sinkretisme tiga aliran utama itu, Dewata Buddhisme dipuja juga dikelenteng Daoisme, dan para Dewata Daoisme juga mendapat penghormatan serupa di kuil Buddhis. Kemudian tokoh tertinggi ketiga aliran tersebut, Kong Zi, Sakyamuni Buddha, dan Lao Zi ditempatkan bersama-sama diatas satu altar pemujaan, ketiganya dianggap merupakan satu kesatuan atau paling sedikit mempunyai tujuan bersama walaupun ada perbedaan. Kebiasaan ini sering dikatakan sebagai "San-er-yi-ye", yang berarti tiga adalah satu. Gambaran prinsip tiga adalah satu ini telah menyeruak dalam segala kegiatan spirituil orang Tionghoa, seperti air dan susu yang tidak terpisahkan lagi.

Harus diakui bahwa Dao-jiao (Agama yang berdasarkan ajaran Daoisme), adalah agama tertua di Tiongkok. Pada waktu itu Kong-jiao (Agama berdasarkan Konfusianisme) belum terbentuk, walupun demikian ajaran Konfusianisme telah menguasai segala kehidupan kebudayaan dan telah dalam tertanam dalam sanubari rakyat. Segala perilaku kehidupan termasuk kelakuan, cara berpikir semuanya tidak terlepas dari pengaruh Konfusianisme, sebab itu tidak hanya Dao-Jiao saja, bahkan agama Buddha yang disebut Fo-jiao yang datang dari Indiapun tak lepas dari pengaruhnya begitu memasuki Tiongkok. Konfusianisme meneguhkan tradisi kepercayaan yang disebut sebagai "Jing Tian Zun Zu" yang kemudian merasuk dikalangan rakyat. Asas inipun kemudian dianut oleh para Daoisme, begitu juga ajaran "Xiao" (Bakti kepada Orang Tua).

Pengaruh Dao Jiao dalam kehidupan beragama masyarakat lebih terasa pada tata cara upacaranya. Seorang pakar Sinologi dari Taiwan Li Mao-xiang dalam bukunya "Bunga rampai dari Taiwan" mengatakan : Keselamatan terancam adalah suatu bentuk nasib yang jelek. Pada waktu nasib jelek mulai datang, tidak hanya perorangan, keluarga dan seluruh penghuni desa semuanya merasa gelisah. Nasib harus diubah, harus mengadakan upacara sembahyang dan upacara sembahyang penolak bala ini dipimpin oleh seorang pendeta Dao". Sebab itulah bisa dikatakan bahwa Dao Jiao menjadi rangka dari seluruh kepercayaan rakyat.

Tapi kemudian di kuil-kuil yang bercorak Daoisme ternyata ada juga yang dipimpin oleh seorang Bikkhu, gejala ini tidak hanya terdapat di Tiongkok daratan, tapi juga di Taiwan. Kelenteng Chao-tian gong di bei-gang Taiwan, memuja Tian Hou; Zhi-nan-gong di Taipei yang memuja Lii Dong-bin, tapi yang memimpin disana semuanya adalah para Bikkhu seperti halnya kelenteng Buddhis saja, padahal yang dipuja disana jelas-jelas adalah Dewa-dewa Daoisme.

Para pendeta Daoist, seringkali juga membacakan parita-parita Buddist seperti halnya Bikkhu. Didalam buku "Sejarah Taiwan" disebutkan bahwa "Kelenteng Lu Zhu Ci di Tai-nan diurus oleh para Bikkhuni, keadaanya bersih dan menyenangkan", dari ini kita dapat mengetahui bahwa kelenteng-kelenteng Daois yang diurus para penganut Buddhist bukanlah barang yang baru. Dalam bukunya -Penelitian perkembangan agama diTaiwan- Li Mao-xiang menulis bahwa yang sungguh-sungguh berkembang pesat dibumi Taiwan adalah kepercayaan rakyat, bukannya yang bersifat sebagai organisasi agama resmi. Kepercayaan rakyat mengandung pikiran-pikiran dari Buddhist, Daoist dan Konfusianist yang telah bercampur menjadi satu sehingga kehilangan watak-watak aslinya".

Masih banyak contoh-contoh yang melukiskan bagaimana Daoisme dan Buddhisme bercampur jadi satu. Kelenteng Yu Huang Tai Zi Gong (Memuja putera Yu Huang Shang Di yang keempat) di Tainan ada 4 buah, kelenteng ini bersifat Daoisme, tapi pada tiap tanggal 8 bulan 4 Imlik mengadakan upacara memandikan Buddha. Menurut cerita, tanggal 8 bulan 4 tersebut adalah tanggal kelahiran Sakyamuni Buddha yang berasal dari seorang pangeran dari Kaopilawastu India, bukannya putra Maha Dewa Yu Huang Shang Di.

Kelenteng-kelenteng Buddha, terutama di Taiwan, Hongkong dan Asia Tenggara hampir semuanya menyediakan sair-ramalan (Ciam-si). Kebiasaan ramal-meramal ini jelas berasal dari Daojiao, seperti juga kita lihat di kelenteng Tay Kak Si, Semarang, yang jelas merupakan kelenteng Buddhist dan memuja Guan Yin dan Sakyamuni. Disitu disediakan juga Ciamsi dari Guan Yin, padahal semestinya seperti halnya dikelenteng-kelenteng Buddha di Tiongkok daratan, Guan Yin hanya memberikan air suci.

Buku-buku suci terbitan Taiwan, dari 172 contoh yang dipilih, meskipun seringkali menjelaskan perbedaan antara Buddhisme dan Daoisme, umumnya mencampur adukkan kedua ajaran itu. Buku "Ajaran Guan Yin untuk menyebar kebaikan dan menolong musibah" terdiri dari 4 bagian, bagian keempat berjudul "Fu You Di Jun membebaskan dari bencana". Fu You Di Jun adalah Lu Dong Bin seorang dari delapan dewa yang jelas berasal dari Daoisme, ternyata bisa dimasukkan dalam buku Buddhist.

Sebuah buku lagi yang berasal dari Dao Jiao, Wu-ji ling-bao (Pusaka Mujijat dari Wuji) mencantumkan satu bab yang berjudul Ajaran-ajaran dari Buddha Hidup Ji-gong. Ji Gong adalah seorang Bikkhu dari jaman dinasti Song selatan, semua orang mengetahui ini.

Hari Zhong-yuan yang jatuh pada tanggal 15 bulan 7 Imlik, biasanya merupakan hari yang dirayakan secara meriah di kelenteng-kelenteng. Pada hari itu juga kaum Buddhist mengadakan sembahyang Yu-lan-pen Hui (Alambana) atau yang biasa disebut sembahyang rebutan di Indonesia. Zhong yuan jelas berasal dari konsepsi Dao-Jiao tentang San Guan Da Di, yang dipopulerkan oleh kaum Destar-kuning yang dipimpin Zhang Jiao. Kemudian Guan Qian, seorang pendeta Daoist pada jaman Dinasti Wei Utara mulai mengatur upacara Shang Yuan tanggal 15 bulan 1, Zhong-yuan tanggal 15 bulan 7 dan Xia-yuan tanggal 15 bulan 10, sampai sekarang ini. Walau kaum Buddhist dalam melaksanakan sembahyang Yu-lan pen ini memang berdasarkan kitab Alambana, tapi tanggalnya memang disesuaikan dengan kebiasaan Dao-Jiao itu. Contoh-contoh diatas menjelaskan bahwa antara Daoisme, Buddhisme dan Konfusianisme sebagai San Jiao telah melebur menjadi satu dalam kepercayaan rakyat yang kemudian dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa.

Sebuah cabang alirang buddhist di Taiwan yang menyebut dirinya aliran Ling-ji dengan jelas mengatakan dalam kitab sucinya "Bambu ungu berakar kuning dan berebung putih, bertopi daoist, berjubah Konfusianis, dan berkasa Buddhis, teratai merah berdaun hijau dan berbiji putih, San-jiao sesungguhnya satu keluarga". Para penganut aliran Ling-ji ini merupakan yang terbanyak diseluruh Taiwan dibandingkan dengan aliran-aliran lainnya. Mereka mempelajari bersama ajaran-ajaran Buddha, lao Zi dan Kong Zi.

Dalam perkembangannya kemudian asas San Jiao (Sam Kauw-Hokkian) ini lalu masuk ke Indonesia. Atas prakarsa antara lain Kwee Tik Hoay, Tjia Tjip Ling dan Teng Tjin Leng, dibentuklah perkumpulan Sam Kauw Hwe yang bertugas membantu orang-orang Tionghoa perantauan mengenal agama leluhur mereka sekaligus mengamalkan ajaran-ajarannya. Pada tahun 1939 antara lain Kwe tek Hoay mengatakan : "itu Sam Kauw akan menjadi satu Philosofi yang lengkap yang memberi faidah besar bagi manusia...." Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa ketiga ajaran ini akhirnya akan membawa manusia ke kebahagiaan yang sempurna, Daoisme menunjukkan jalan kepada manusia untuk manunggal dengan "Sumber segala kehidupan" yang disebut Dao; Buddhisme memberitahukan bagaimana manusia dapat manunggal dengan "Hukum kebenaran" yaitu Dharma; dan dengan demikian dapat mencapai Nirwana; dan Konfusianisme menunjukkan bagaimana seseorang dapat hidup menurut watak sejati" dan dengan demikian mencapai Seng Jin atau Manusia sempurna. Dari perbandingan semacam inilah Kwee menarik kesimpulan "Meskipun metodenya berbeda, tujuan akhirnya sama, yakni memimpin manusia ke jalan yang benar, kembali ke sumber penghidupan yang kekal, murni dan penuh restu". Dari dasar pandangan-pandangan inilah Kwee Tek Hoay meletakkan dasar untuk satu organisasi Sam kauw yang kemudian berkembang dan bertahan sampai dewasa ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More