KELENTENG
Orang tionghoa sudah datang ke kepulauan Nusantara ini, jauh sebelum orang kulit putih pertama menginjakkan kakinya. Per-mukiman mereka dipesisir utara pulau jawa sudah ada pada abad ke-14 yaitu pada masa jaman Majapahit, demikian ditulis oleh Ma Huan dalam bukunya Ying Ya Sheng Lan, yang merupakan catatan penting tentang perjalanan Zheng He ke Lautan Selatan dan singgah di Jawa pada masa itu. Bersamaan dengan kedatangan para imigran itu, mengalir masuk pula kebudayaan mereka, terutama kebudayaan Spiritual seperti adat istiadat, upacara-upacara, dan agama, walaupun tak sedikit pula yang langsung menganut agama penduduk setempat. Seiring dengan makin mapannya kehidupan di tanah perantauan, kebutuhan akan tempat beribadah sebagai tanda terima kasih kepada yang maha Kuasa, pun mulai dirasakan. Maka berdirilah kelenteng-kelenteng ditempat permukiman mereka sebagai tempat dilakukannya kegiatan Rohani dan sosial. Kelenteng yang pada mulanya didirikan tentunya bercorak khas Tionghoa, tapi dalam perkembangannya kemudian banyak juga yang dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, terutama setelah banyaknya tukang-tukang dan ahli pahat pribumi di ikut sertakan dalam pembangunannya.
Orang tionghoa sudah datang ke kepulauan Nusantara ini, jauh sebelum orang kulit putih pertama menginjakkan kakinya. Per-mukiman mereka dipesisir utara pulau jawa sudah ada pada abad ke-14 yaitu pada masa jaman Majapahit, demikian ditulis oleh Ma Huan dalam bukunya Ying Ya Sheng Lan, yang merupakan catatan penting tentang perjalanan Zheng He ke Lautan Selatan dan singgah di Jawa pada masa itu. Bersamaan dengan kedatangan para imigran itu, mengalir masuk pula kebudayaan mereka, terutama kebudayaan Spiritual seperti adat istiadat, upacara-upacara, dan agama, walaupun tak sedikit pula yang langsung menganut agama penduduk setempat. Seiring dengan makin mapannya kehidupan di tanah perantauan, kebutuhan akan tempat beribadah sebagai tanda terima kasih kepada yang maha Kuasa, pun mulai dirasakan. Maka berdirilah kelenteng-kelenteng ditempat permukiman mereka sebagai tempat dilakukannya kegiatan Rohani dan sosial. Kelenteng yang pada mulanya didirikan tentunya bercorak khas Tionghoa, tapi dalam perkembangannya kemudian banyak juga yang dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, terutama setelah banyaknya tukang-tukang dan ahli pahat pribumi di ikut sertakan dalam pembangunannya.
Istilah "Kelenteng" merupakan bahasa Indonesia yang khusus untuk menyebut rumah ibadat yang digunakan oleh keturunan Tionghoa. Menurut beberapa pakar bahasa, istilah ini berasal dari bunyi "teng-teng" atau "Klenteng-klenteng" yang sering diperdengarkan dari upacara sembahyang. Bunyi bunyian itu berasal dari lonceng -lonceng yang ditabuh pada waktu pembacaan parita atau pada saat puncak upacara dilangsungkan. Dalam bahasa Tionghoa, kelenteng mempunyai banyak istilah, ter-gantung dari corak dan besar-kecilnya kelenteng tersebut. Dalam majalah "China Travel" terbitan bulan Juli 1988 terdapat sebuah tulisan yang menerangkan perbedaan istilah-istilah tersebut. Istilah yang utama adalah "Miao" (bio-Hokkian) yang berarti kelenteng besar, seperti yang tyerdapat disamping pintu gerbang Tian-an-men, Beijing, yaitu Da-miao (artinya kelenteng besar), yang merupakan bangunan peribadatan tempat para kaisar dari dua dinasti- Ming dan Qing- melakukan upacara puja-bhakti kepada para leluhurnya.
Tempat para pejabat tinggi memuja nenek-moyangnya dinamakan "ci" (su-Hokkian) atau secara umum disebut "ci-tang" atau "zong-ci", misalnya Wu-liang-ci yang terdapat di Jia-xiang, propinsi Shandong. Wu-liang-ci merupakan kelenteng leluhur keluarga Wu dari jaman dinasti Han. Ada juga "miao" yang diturunkan tingkatnya menjadi "ci", di Cheng-du, propinsi Sichuan terdapat sebuah kelenteng yang bernama Xian-zhu miao, untuk menghormati Liu Bei (Lauw Pi- Hok-kian), didekatnya terdapat sebuah kelenteng besar juga untuk menghormati Liu Chan, putera Liu Bei, yang disebut Hou-zu ci. Karena Liu Chan tidak becus, maka kerajaan yang diwariskan kepadanya oleh sang ayah akhirnya runtuh, sebab itu rupanya orang menganggap tak layak kalau kelenteng yang didirikan untuk mengenangnya disebut sebagai "miao". Kelenteng-kelenteng yang didirikan untuk memperingati orang-orang besar, nabi-nabi, dan para pahlawan, umumnya disebut "miao", tapi ada juga yang hanya dinamakan "ci". Kong miao (kuil peringatan untuk Kong Zi), Guan-di miao (Kuil peringatan untuk Guan Di), Yue-wang miao (kuil peringatan untuk Yue Fei) adaah contoh-contoh ; "miao" yang terkemuka di daratan tiongkok. Qu-zi ci (Kuil peringatan untuk Qu Yuan) dan Tu-gong bu ci (Kuil peringatan untuk Tu Fu), adalah "ci" yang terkenal, memang bentuknya tidak semegah dan sebesar Kong miao atau Guan-di miao, sebab itu hanya mendapat sebutan "ci". Di sebelah kanan bangunan kelenteng Gang Lombok Semarang terdapat juga sebuah "ci" yaitu Gong deci (Kong tek su) yang merupakan tempat pemujaan abu para leluhur. Kelenteng-kelenteng untuk memuja para dewa yang merupakan kepercayaan rakyat, dan untuk dewa-dewa sungai dan gunung yang pe-mujaannya telah ditetapkan oleh kerajaan, juga sering disebut "ci" atau "miao". Contoh yang paling umum adalah kelenteng Dong-yuemiao (Kelenteng untuk memuja Dong Yue Da Di), yang hampir selalu ada pada tiap ibukota kabupaten.
Masyarakat juga sering kali secara spontan mendirikan kelenteng-kelenteng untuk memuja para dewa setempat seperti Tu-di miao (untuk memuja Tu Di Gong), Shan-shen miao (Kelenteng untuk memuja dewa ular), Wen-shen miao (kelenteng untuk memuja Dewa pelindung terhadap penyakit), dan lain-lain. Kelenteng-kelenteng ini sering kali sangat kecil, sampai-sampai untuk satu orang bersembahyangpun sangat susah, tapi walupun begitu masyarakat setempat meyebutnya "miao". Konon karena belum mendapat izin dari pemerintah kerajaan, kelenteng-kelenteng yang begini digolongkan sebagai kelenteng liar.
Sesudah jaman dinasti-dinasti Sui dan Tang, tempat beribadat kaum Taoist mulai banyak bermunculan, dan disebut "dao-yuan". Dao-yuan dibagi 2 golongan menurut tingkatannyayaitu "gong" (berarti Istana) dan "guan". Kelenteng bercorak Taoist yang didirikan oleh Kaisar disebut "gong" seperti Qing yang gong di chengdu, Yu xiao gong di Guang-zhou, keduanya adalah kuil Taoisme terkenal yang didirikan oleh kaisar dinasti Song. Di Jawa, istilah "gong" ini juga dapat kita temui pada kelenteng Ci an gong (Cu An Kiong) di Lasem dan Yong angong (Eng an Kiong) di Malang. Setingkat lebih rendah dari "gong" adalah "guan". Kelenteng Bai yun guan di Beijing dan Xuan miaoguan di Suzhou adalah contoh kuil Taoist yang dibagun pada jaman dinasti Yuan.
Dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tempat-tempat pemujaan terhadap "gui-shen" (Kwi sin-Hokkian) atau "arwah suci" dinamakan "ci" atau "miao" (orang dulu menganggap bila orang telah mati, rohnya-"gui"- sesudah beberapa lama naik tingkat menjadi malaikat atau "shen" sebab itu disebut gui-shen). Sedangkan "gong" dan "guan" adalah kelenteng para penganut Taoistme untuk memuja dewa-dewa seperti Yu Huang Da Di, Yuan shi Tian Zun dan lain-lain. Adalagi istilah lain yaitu "an" dan "si". Kedua istilah ini mengacu pada kelenteng para penganut Buddhisme yang memuja antara lain Ru Lai Fo, Guan Yin Pu Sa dan lain-lain. Kelenteng bercorak Buddhisme semacam ini biasanya besar dan memiliki asrama untuk para pendeta, tempat pendidikan, perpustakaan, tempat meditasi dan lain-lain. "An" (am-Hokkian) adalah kelenteng yang khusus ditempat para bhikkuni (Rahib wanita). "Si" sebaliknya adalah kelenteng Buddhisme yang ditempati para bikkhu. shao lin si (Siau Lim Si) Bi yun si (Pek In Si) adalah contoh dari "si" yang terkenal di Tiongkok. Di Jawa banyak kita jumpai "si" ini, yang terkenal antara lain Chao jue si (Tiao Kak Si) di Cirebon dan Da Jue Si (Tay Kak Si) di Semarang.
Jadi jelas bahwa "kelenteng merupakan istilah asli Indonesia", sebab dalam bahasa Tionghoa tak terdapat istilah yang demikian itu. Demikian juga di Singapura dan Malaysia.
PEMUJAAN ROH SEBAGAI DASAR
PEMUJAAN ROH SEBAGAI DASAR
Dalam bukunya "Zhuang - yan de shi-jie" atau Dunia yang "Khidmat", Prof.Ruan Chang-rui mengatakan : Pemujaan roh adalah gejala pera-daban yang paling umum dalam masyarakat manusia.
Karena ling-kungan hidup dan tradisi kebudayaan tiap bangsa tidak sama,
maka kebiasaan pemujaan roh mempunyai wujud yang tidak sama pula.
Pemujaan roh dikalangan rakyat Tiongkok pun mempunyai sosok yang khas.
Walaupun pada mulanya adalah kebiasaan primitif, tapi kemudian setelah
bercampur dengan pandangan-pandangan Daoisme, Buddhisme dan
Konfusianisme, lalu tumbuh menjadi sosok agama sinkretisme yang khas.
Pemujaan
terhadap roh orang orang yang telah meninggal, roh yang me-nguasai alam
dan benda-benda, dalam pandangan modern dianggap sama sekali tak masuk
akal dan tahayul. Tapi setelah memahami latar belakang dan hakekatnya,
hal-hal seperti itu ternyata tidaklah seperti tampaknya dari luar yang
sulit diterima akal. Dalam mengungkap latar belakang pemujaan roh ini,
Prof. Ruan lebih lanjut menerangkan : "Dalam masyarakat purba,
gajala-gejala alam seperti petir, taufan, hujan dan gempa bumi,
menyebabkan manusia merasa dirinya kecil dan memerlukan perlindungan.
Pengalaman-pengalaman meng-hadapi bencana alam tersebut, menyebabkan
timbulnya pemujaan kepada alam. Lalu muncullah persembahan kepada Dewa
guntur, dewa Laut, Malaikat gunung dan sebagainya.
Dengan
makin majunya kebudayaan, lalu timbul pendapat bahwa roh-roh itu tidak
pernah mati. Dalam pandangan mereka roh-roh orang mati yang tinggal
dialam baka, juga memerlukan rumah tinggal dan pakaian, seperti pada
waktu masih hidup. Sebab itu para sanak ke-luarganya yang masih hidup
mengadakan upacara sembahyang yang lengkap dengan segala sesajian
termasuk kertas uang dan rumah-rumahan, untuk menyenangkan mereka agar
membantu memberikan berkah kepada anak cucunya yang masih hidup. inilah
mulanya pe-mujaan kepada nenek moyang. Kemudian masyarakat juga merasa
perlu untuk menghormati para pahlawan dan orang-orang bijak yang telah
berjasa bagi mereka, dan percaya setelah meninggal roh-roh orang-orang
besar itu akan menjadi dewa dan melindungi mereka. Ini lalu menimbulkan
pemujaan kepada orang-orang besar.
Tentang
pemujaan terhadap roh-roh yang menghuni benda-benda ciptaan manusia,
seperti roh pembaringan (Chuang mu), roh sumur (Jing Long Wang) dan
lain-lain, Prof. Ruan selanjutnya mengatakan bahwa itu sesungguhnya
merupakan perwujudan rasa terima kasih dan rasa sayang terhadap
barang-barang yang telah dibuat dan diciptakan oleh para leluhur mereka
dengan segala jerih payahnya.
ASAS JING TIAN ZUN ZU
Secara
hakiki, dasar kepercayaan orang Tionghoa yang kemudian diperteguh lagi
oleh ajaran Kong Zi adalah yang disebut "Jing Tian Zun Zu" yaitu
"Mengagungkan Langit (Tuhan) dan menghormati Leluhur".
Asas
inilah yang kemudian banyak memegang peran dalam berbagai
upacara-upacara keagamaan dan menjadi tulang punggung kebu-dayaan
spiriyuilnya. "Zu" atau "Leluhur", juga bisa disebut sebagai "Shen"
yaitu "dewata" atau "malaikat". Zu dipuja dan dihormati oleh satu
keluarga saja, sedangkan Shen dihormati dan dipuja oleh banyak keluarga
(banyak keluarga atau "Bai-xing" berarti masyarakat atau rakyat banyak).
Zu meninggalkan kebajikan dan mengulurkan berkah buat satu keluarga
tertentu saja, tapi Shen berbuat kebajikan dan melimpahkan berkah buat
rakyat banyak.
Didalam
"li-ji" (Kitab Upacara) karangan Nabi Kong Zi disebutkan bahwa 7
Kaisar-kaisar bijaksana harus dijunjung tinggi, orang-orang bijak yang
membuat undang-undang untuk ketentraman rakyat harus dihormati, orang
yang setia dalam menjalankan tugasnya harus di hormati, orang-orang yang
membaktikan dirinya sepenuh hati pada negara harus di hormati, orang
gagah dan cendekiawan yang mampu menolak dan menghindarkan rakyat banyak
dari malapetaka harus dihormati".
Dari
keterangan itu dapat kita simpulkan bahwa orang-orang yang amal
bhaktinya berguna untuk rakyat mendapat penghormatan dan layak dipuja
dalam kelenteng sebagai "Shen". "Zu" adalah manusia biasa, yang berasal
dari "Tian" (Langit). Ada pemeo yang mengatakan bahwa _Wan -wu ben yu
Tian_ yang berarti semua mahluk berpokok dari Tian. Jadi Tian menurunkan
Zu dan dari Zu inilah diturunkan kita semua. Dari dasar pemikiran yang
cukup sederhana ini berkembanglah suatu kebiasaan untuk memuja Tian
sebagai pencipta Alam dan penghormatan kepada kepada Leluhur.
Hubungan
timbal balik antara Tian dan manusia, Shen atau Zu dengan manusia
menjadi akrab dan penuh perasaan. Menghadapi ber-bagai hal masyarakat
tak lupa minta petunjuk tian atau para Shen. Tian sebagai Pencipta
memang hanya satu tapi jumlah Shen menjadi makin banyak sesuai dengan
tugas masing-masing sebagai pembantu Tian dalam mengatur alam semesta
ini. Untuk meminta petunjuk atau pernyataan terima kasih pada para shen
tersebut diadakan upacara sembahyang. Karena jumlah shen yang tidak
sedikit itu maka upacara-upacara menjadi makin sering dilakukan dan tata
caranya makin beraneka warna. Asal usul para shen itu kemudian tidak
begitu ketat lagi sehingga timbul bermacam versi dari berbagai tempat
yang berbeda-beda. Biasanya orang-orang memberi hormat tiap kali ia
ber-temu dengan shen di suatu kelenteng walau ia sama sekali tidak tahu
siapa shen yang ia temui itu. Mereka biasanya menyebut shen sebagai
"Shen-Ming" yang berarti "roh gemilang" atau "roh suci".
Dari
dasar kepercayaan "Jing Tian Zun Zu" yang diuraikan di atas, diperkaya
lagi dengan ajaran Konfusianisme, Daoisme, dan Buddhisme, maka akhirnya
muncullah sosok agama khas Tionghoa yang merupakan endapan-endapan dari
beberapa unsur diatas. Dalam kaitan inilah apa yang kita lihat adalah
pemujaan terhadap para Buddha (Fo-zhu), Boddhisatva (Pu-sa), Arhat
(Luo-han), Dewa (Xian), Dewata atau malaikat (Shen-Ming), Nabi dan roh
suci lainnya. Agama khas inilah yang sekarang ini di Hongkong, taiwan
dan daratan Tiongkok disebut sebagai Zu-xian-jiao (Secara harfiah
berarti "Agama Leluhur"). Agama inilah yang sekarang ini dianut oleh
sebagian besar orang Tionghoa baik di negeri asalnya maupun di
perantauan.
PENGGOLONGAN PARA DEWATA
PENGGOLONGAN PARA DEWATA
Secara khusus agama Zu-Xian-Jiao ini menggolong-golongkan Para Roh Suci yang dipujanya dalam 3 penggolongan utama, yaitu :
- Dewata penguasa alam semesta yang mempunyai wilayah kekuasaan dilangit. Para Dewata golongan ini dipimpin oleh Dewata tertinggi yaitu Yu Huang Da Di, Yuan Shi Tian Zun, termasuk didalamnya antara lain Dewa-dewa Bintang, Dewa Kilat, Dewa Angin, dan lain-lain.
- Dewata penguasa bumi, yang memiliki kekuasaan di bumi, walau sebetulnya mereka termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah dunia dan manusia, termasuk akherat. Dalam Daoisme mereka dikatakan sebagai para dewata yang menguasai Wu-xing (Ngo-heng-Hokkian) atau Lima anasir, yaitu : Kayu (Dewa hutan, dewa kutub dan sebagainya). Api (Dewa api, Dewa Dapur). Logam (Dewa penguasa kekayaan dalam bumi). Air (Dewa Sumur, Dewa Sungai, Dewa Laut Malaikat Air, Dewa Hujan dan lain-lain. Tanah (Dewa Bumi, Dewa Gunung, penguasa Akherat, Dewa pelindung kota dan lain-lain).
- Dewata Penguasa Manusia yaitu para dewata yang tugasnya mengurus soal-soal yang bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti : Kelahiran, Perjodohan, Kematian, Usia, Rejeki, Kekayaan, Kepangkatan, dan lainnya. Termasuk dalam golongan Dewata Penguasa Manusia ini adalah para Dewata Pelindung usaha pertukangan, Dewata Pengobatan, Dewata Pelindung Peternakan Ulat Sutra dan lain-lain. Kemudian ditambah lagi dengan Dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari daerah yang sama.
Dengan
masuknya Agama Buddha dari India, Dewata-dewata Buddhismepun menjadi
pujaan rakyat sejajar dengan dewa-dewa lainnya, dan ditambahkan di
kelenteng bersama-sama. Diantara Dewata Buddhisme yang paling populer
adalah Guan Yin dan Mi Lo Fo serta Sakayamuni sudah kehilangan sifat
Indianya dan diserap sama sekali dalam kebudayaan Tionghoa sehingga
memperoleh bentuk sebagai Dewa Tionghoa tulen.
MENYEBAR BERSAMA PERPINDAHAN PENDUDUK
Kepercayaan
akan "Shen Ming" ini, terutama upacara-upacara ke-agamaannya, mempunyai
kemampuan untuk terus bertahan dari generasi ke generasi berikutnya,
walaupun tidak mempunyai tradisi yang tertulis.
Taiwan,
sebagai contoh, memiliki kepercayaan rakyat yang boleh dikatakan sama
dengan Tiongkok daratan, tapi upacara-upacara sembahyangnya lebih
beraneka warna, dan lebih megah. Demikian juga para shen-ming yang ada
lebih bermacam-macam. Upacara-upacara keagamaan seperti : Ma Zu pulang
kampung, Cheng huang Lao. Ye meninjau kota, pembakaran kapal Wang Ye,
melepas lentera air dan lain-lainnya, dalam pandangan orang sekarang
dianggap terlalu tahayul dan pemborosan. Terhadap hal ini Profesor Li
Yi-yuan dari Akademi Ethnologi Cina di Taipei berpendapat bahwa :
Sebab-sebab mengapa upacara-upacara agama yang kelihatannya serba
tahayul itu dapat bertahan sampai jaman modern ini adalah karena
mempunyai fungsi sosial yang penting. agama dengan segala macam
kepercayaan dan upacaranya tidak hanya memberikan hiburan bagi
orang-orang yang sedang m,enderita kekecewaan hidup, tapi juga
mengajarkan bagaimana mereka berorganisasi. Yang lebih penting lagi
upacara-upacara ritual itu ditujukan kepada manusia sebagai pribadi,
masyarakatnya dan alamnya. Upacara meneguhkan lagi kehadiran manusia dan
kedudukannya dalam masyarakat. Agama mendukung tercapai-nya
keharmonisan dalam dunia. Dewa-dewi dari agama rakyat, beserta
upacaranya meskipun banyak mengandung misteri yang menarik, harus
dimengerti dahulu asal-usulnya. Apabila asal-usul ini sudah ketemu,
barulah kita teliti lebih lanjut apakah masih bisa sesuai dengan
kehidupan modern sekarang ini. Berdasarkan hasil penelitian inilah nanti
kita dorong masyarakat untuk memilih. Inilah pentingnya penelitian
kebudayaan rakyat.
Dewasa
ini diantara upacara-upacara pemujaan rakyat di Taiwan, yang paling
meriah adalah terhadap Ma Zu, Wang ye, Tu Di Gong dan You Ying Gong (You
Ying Ging ini adalah khas Taiwan). Sesungguhnya hal ini mempunyai latar
belakang sejarah dan sosial, yaitu berhubungan dengan jerih payah
pendahulu-pendahulu mereka dalam membuka pulau Taiwan.
Setelah
memahami latar belakangnya, baru kemudian diadakan lagi penilaian yang
lebih bijaksana berdasarkan alam pikiran modern, agar upacara-upacara
yang rumit itu bisa lebih berbobot dan punya nilai spirituil yang lebih
tinggi. Dengan begini, kepercayaan rakyat akan memperoleh nilai-nilai
baru yang lebih positif serta memiliki peran yang lebih berguna dalam
masyarakat modern.
Sudah
sejak lama orang-orang Tionghoa dari propinsi Fujian dan Guangdong
bermigrasi ke Taiwan, demikian selanjutnya Prof.Li menerangkan. Dalam
mengadakan pelayaran yang menempuh bahaya pada waktu menuju Taiwan
mereka tanpa memakai peralatan maritim yang memadai. Satu-satunya upaya
mereka adalah membawa serta patung Dewi Pelindung Lautan, agar diberi
perlindungan dalam menempuh taufan dan arus laut yang ganas di selat
Taiwan. Patung para Roh Suci yang dibawa mereka umumnya adalah Ma Zu
(Tian Shang Sheng Mu) dan Xuan Tian Shang Di. Setelah sampai dengan
selamat di taiwan, patung-patung tersebut lalu ditempatkan di
kelenteng-kelenteng yang didirikan ditempat yang baru itu. Sebab itulah
kelenteng-kelenteng yang memuja Ma Zu dan Xuan Tian biasanya merupakan
kelenteng yang paling ramai dikunjungi orang di Taiwan. Hal yang sama
berlaku pula untuk para perantau Tionghoa yang akhirnya menetap di
beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaya dan Indonesia. banyak
kelenteng di Indonesia yang memuja kedua Dewa tersebut, demikian pula di
Malaya.
Taiwan
terletak didaerah Tropis Asia. Pada waktu pertama dihuni oleh para
pendatang dari Daratan Tiongkok, keadaanya masih merupakan semak belukar
yang menjadi sarang penyakit menular. banyak diantara para imigran itu
yang terjangkit penyakit. Prof. Li mengatakan bahwa pada waktu para
leluhur yang pertama kali datang di Taiwan membuka lahan mereka tidak
memiliki obat-obatan, Tabib juga tidak ada. Satu-satunya usaha mereka
adalah memohon perlindungan dari malaikat pelindung dari wabah penyakit
yaitu Wang Ye. Sebab itu kelenteng pemujaan Wang Ye lalu bermunculan dan
Wang Ye memperoleh ketenaran sama dengan Ma Zu dan Xuan Tian shang Di.
Wang
Ye adalah Dewata yang khas dari propinsi Fujian, dan konon memiliki
kesaktian untuk menyingkirkan penyakit. Dalam upacara yang disebut
"membakar perahu Wang Ye", sebuah perahu dari kertas dan bambu dibakar
atau ditarik ketengah laut setelah upacara selesai. Ini mengandung makna
bahwa wabah penyakit agar terbawa keluar dari wilayah itu. Upacara
"membakar perahu Wang Ye" ini masih berlangsung terus sampai dewasa ini,
walaupun sudah jarang sekali terjadi wabah dan telah menyatu dalam
kegiatan tradisionil masyarakat, dan dilakukan tiap tahun. "Wang Ye"
telah menjadi Dewata yang serba bisa dalam menyingkirkan segala macam
bencana.
Upacara-upacara
semacam ini banyak pula dilakukan oleh kalangan masyarakat emigran di
Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia kegiatan upacara yang terbesar
boleh dikatakan adalah upacara peringatan kedatangan San Bao Da Ren,
yang dilakukan di Semarang pada tanggal 29-30, bulan 6 Imlik. Patung San
Bao diarak dari kelenteng Tay Kak Si di gang Lombok ke Gedung batu,
yang dianggap sebagai tempat yang pernah disinggahi oleh San Bao dalam
kunjungannya ke Jawa, sebagai halnya Wang Ye di Taiwan, San Bao pun
dianggap sebagai Dewata pelindung para Emigran yang serba bisa.
Sedangkan di Malaysia upacara yang paling besar adalah peringatan hari
lahir Jiu Huang Ye yang jatuh pada tanggal 9 bulan Imlik. Pusat perayaan
dan upacara dilakukan disebuah kelenteng Jiu Huang Ye di Ampang dekat
Kuala Lumpur. Upacara semacam dilakukan pula di Penang dan Singapura.
Seperti halnya Wang Ye, pemujaan Jiu Huang Ye dibawa oleh seorang
emigran dari propinsi Fujian, Lin Yin, ke Malaysia pada waktu negeri
itu dilanda epidemi.
Setelah
menetap dan kehidupan agak mapan, kemudian muncul persoalan baru,
pertama-tama adalah menjaga agar tidak sampai terjadi bentrokan dengan
pribumi setempat, dan yang kedua adalah per-saingan dengan para emigran
dari daerah lain dalam mengolah tanah-tanah subur. Kedua masalah ini
mendorong dibentuknya organisasi yang mampu menampung dan memecahkan
masalah bersama. Tentang hal ini Prof. Li mengatakan : "Untuk mengatasi
masalah-masalah ini, cara yang paling efektif adalah membentuk
organisasi berdasarkan kesamaan daerah asal, dan keturunan. Sebagai
lambang penyatuan, maka suatu Shen-Ming yang berasal dari daerah asal
mereka dipuja bersama-sama dalam kelenteng sekaligus tempat berkumpul
dalam membicarakan masalah-masalah penting." Inilah asal mulanya
pemujaan Dewata-dewata kedaerahan, misalnya pemujaan Kai Zhang Sheng
Wang oleh orang-orang asal Zhang-zhou, Bao Sheng Da Di oleh orang asal
Chuan-zhou dan San Shan guo Wang oleh orang-orang yang berasal dari
kabupaten Mei (Hakka).
Sesudah
organisasi terbentuk, banyak masalah terpecahkan, sistem pengairan yang
memegang peran sangat penting untuk suksesnya pertanian berhasil
dilaksanakan, maka industri pertanian mulai berkembang. Tapi pada
mulanya sistim pengairan ini sangat tergantung akan kemurahan alam
sehingga dirasa perlunya mohon perlindungan para dewata pelindungnya
agar panennya jagan gagal, hujan bisa datang pada waktu yang diperlukan
dan dalam jumlah yang cukup. Karena inilah kemudian pemujaan Tu Di Gong
berkembang pesat.
Mereka
percaya Tu Di Gong adalah dewata yang menguasai bumi, dialah yang
memberikan kesuburan pada tanah, sehingga dapat ditanami hasilnya untuk
menghidupi masyarakat. Sebab itu pemujaan terhadapnya sebagai Dewa Pelindung pertanian tidak boleh dilalaikan,
karena itu muncullah pemeo "tian-tou tian-wei Tu Di Gong" (Tu Di Gong
ada di tiap penjuru sawah). Tiap saat mulai dari menebar bibit sampai
memanen, selalu diadakan upacara sembahyang untuk mohon perlindungannya dan mengucapkan terima kasih atas berkah-nya.
Di
Taiwan ada pemujaan khas yaitu You Ying Gong. Di banyak tempat di pulau
ini terdapat kelenteng untuk menempatkan tulang-tulang dari orang-orang
yang tidak dikenal dan tidak mempunyai keturunan. kelenteng-kelenteng
ini biasanya didirikan disekitar tanah pekuburan, ditepi jalan, dibawah
pohon besar sampai-sampai di kaki gunung dan tepi sungai. Jumlah
kelenteng You Ying Gong ini di-seluruh Taiwan boleh dikata sebanding
dengan kelenteng Tu Di. Pada waktu mula-mula datang ke pulau ini, banyak
diantara para emigran yang meninggal karena wabah penyakit, karena
dibunuh oleh penduduk pribumi, atau tewas karena perselisihan diantara
sesamanya. Mereka yang meninggal itu umumnya dikuburkan secara
sederhana, lalu karena kikisan angin dan hujan, kuburan-kuburan itu
akhirnya terbuka dan tulang belulangnya tercerai berai. Karena merasa
tak tega atau punya perasaan was-was kalau-kalau bekas jasad manusia
yang tersia-sia itu dapat menimbulkan gangguan bagi yang hidup, maka
mereka lalu dikumpulkan dalam bejana keramik dan dikuburkan lagi dengan
upacara yang lebih baik. Di dekat tempat itu didirikan kelenteng untuk
menghormati arwah-arwahnya. Dikelenteng ini kemudian penduduk
bersembahyang mohon perlindungan dan pertolongan apabila bencana
menimpa. Kalau permintaannya ternyata berhasil, mereka beramai-ramai
membeli selembar sutra merah yang disulam empat buah huruf "you qiu bi
ying" yang berarti "ada permintaan tentu dikabulkan", kemudian
digantungkan diatas pintu masuk kelenteng. Dari istilah inilah kemudian
muncul sebutan You Ying Gong (Datuk yang mengabulkan permintaan).
0 komentar:
Posting Komentar