Sejarah Musik Bambu
Musik bambu dapat disebut sebagai musik khas nusantara. Pasalnya, alat musik dari bambu ditemukan di hampir semua daerah, meskipun dengan bentuk dan jenis alat yang berbeda satu sama lain. Mulai dari suling bambu, angklung, terompet, kentungan, dan sebagainya. Tetapi yang akan dibahas di sini adalah tentang sejarah musik bambu khas Minahasa.Alat musik bambu di Minahasa sudah dikenal sejak dahulu kala. Ketika itu alat musiknya masih berbentuk tiga ruas bambu dengan panjang yang berbeda sekitar 8 cm yang di ikat menjadi satu. Alat musik ini dibuat dari bulu tui, sejenis bambu berdiameter kecil, hanya 2—3 cm. Ia menghasilkan 3 jenis nada yang gunanya untuk memanggil burung Manguni di malam hari yang di sebut sori.
Selanjutnya di Jaman Portugis datang ke
Minahasa pada sekitar tahun 1560 dikenal suling bambu penthatonis 5
lubang dan dilengkapi satu lubang untuk meniup. Suling bambu
kemungkinan datang dari Ternate bersama Kolintang gong (momongan)
melalui perdagangan beras Minahasa sejak Jaman Portugis di Minahasa
sampai jaman V.O.C. Belanda 1560 –1870.
Suling ini menghasilkan 5 macam nada dan
menjadi salah satu alat musik pendukung Musik Maoling yang terdiri dari
kolintang gong ,tambur dan gong besar. Pada sekitar tahun 1789, suling
bambu juga mulai banyak dimainkan di gereja oleh orang-orang Kristen
protestan waktu itu, yaitu masyarakat Borgo yang tinggal di Manado,
Tanawangko, Belang, Kema, Likupang, dan Amurang. Masyarakat keturunan
Borgo memang bermukim di beberapa wilayah Minahasa. Mereka bukanlah
salah satu sub-etnis Minahasa, melainkan diduga sebagai salah satu
kelompok keturunan asing yang sudah lama tinggal dan bermukim di
Minahasa.
Selain suling bambu 5 nada, saat itu juga
dikenal suling bambu tiga nada yang kebanyakan dimainkan anak-anak
sekolah pada waktu itu. Bahkan, musik suling anak-anak sekolah tersebut
pernah digunakan Korps Musik Hindia Belanda Kawangkoan untuk mengiringi
pemberangkatan serdadu Minahasa ke perang Jawa tahun 1829 di pelabuhan
Wenang (saat ini Manado). Korps musik kerajaan Belanda ini juga yang
mengiringi tarian katreli oleh para milisi orang Manado-Minahasa di
Manado tahun 1885
Musik Bambu Melulu
Selanjutnya pada tahun 1840-an, terbentuk
Orkes Musik Suling, yang dipengaruhi oleh korps musik militer Belanda.
Apalagi Zending Belanda berusaha menghapus alat musik gong di
Minahasa dan menggantikannya dengan musik suling pada tahun 1844 . Dan
pada tahun 1870 meniup suling bambu menjadi salah satu mata pelajaran
sol-mi-sa-si untuk belajar lagu-lagu Gereja.
Musik Bambu Malulu (Gambar: metuarimaesa.blogspot.com) |
Sampai tahun 1880, orkes musik bambu
hanya berupa musik suling saja. Nanti setelah tahun 1880-an barulah
masyarakat mengenal alat musik bambu yang berfungsi sebagai Bass dan
Tuba (Piston). Sejak itulah dikenal nama orkes Musik Bambu Melulu yang
terdiri dari sederetan peniup suling , tambur besar kecil ,korno
(Hoorn), piston dari bambu, bombardon (bas) dari bambu, pontuang, dan
gong.
Musik ‘ Suling Bambu’ perlahan-lahan
tersingkir oleh orkes Musik Bambu yang alat musiknya bukan hanya suling
saja, melainkan campuran beberapa jenis alat musik dari bambu. Bahkan
didukung pula oleh alat-alat musik buatan Eropa seperti tambur,
genderang, clarinet, dan terompet.
Musik Bambu Klarinet (Foto:http://www.metuarimaesa.blogspot.com) |
Kini dari vernikel
Pada tahun 1932, Kek Beng – seorang
pengrajin kaleng (Tukang Blek) dari Amurang, berhasil membuat tiruan
alat musik Eropa, yakni tuba dan bombardon (bas) dari bahan seng
aluminium. Sejak itulah Orkes Suling Bambu dengan tuba (Piston) dan bass
dari bahan Bambu berubah menjadi Musik Bambu Seng, dimana hanya suling
dan korno saja yang terbuat dari bambu. Dengan alat-alat musik
pendukung yang makin lengkap itulah, akhirnya Musik Bambu berkembang
menjadi salah satu alat musik tradisional bergengsi. Di Suku Tonsawang / Toundanouw Alat musik ini
bahkan menjadi pengiring lagu untuk menghormati tamu agung, pesta
perkawinan, upacara adat, Upacara Pemakaman dan upacara lainnya.
Sampai tahun 1957 sebelum pergolakan permesta, seluruh musik bambu di
Minahasa sudah berbentuk musik bambu seng seperti orkes musik bambu
“Garuda” (Buyungon), “Banteng“ (Rumoong bawah), “Nasional” (Kawangkoan
bawah ), “Uluna” (Tondano), “Orion” (Kakaskasen –Tomohon) dan
sebagainya.
Karena alat musik dari seng aluminium cepat berlombang terkena air
liur manusia yang mengandung garam, maka di tahun 1970-an bahan baku
dari peralatan musik bambu seperti Klarinet, Saxophon, Tuba,Oferton, dan
bass di ganti dari kuningan. Alat tiup bas dan Tuba mengalami
perubahan menjadi ‘Tuba Celo’ dan “Tuba benyo. Sejak itulah dikenal
sebutan Musik Bambu Seng Klarinet (MBSK).
Namun karena bahan kuningan juga cepat
menjadi buram terkena keringat manusia, maka sejak tahun 1990-an mulai
dicari bahan logam lain supaya alat musik tiup nampak selalu bercahaya
tanpa selalu harus digosok dan di bersihkan. Akhirnya dipilih besi
putih (vernikel, stainless steel), yaitu logam berwarna perak berkilau.
Musik universal
Musik bambu dimainkan secara massal oleh
30—60 orang dalam satu grup (tumpukan). Dan setiap satu tumpukan
dipimpin oleh seorang konduktor ( tukang palu). Secara umum personil
grup musik bambu akan terdiri dari :
- Konduktor (tukang palu)
- Deretan depan terdiri dari : peniup suling kecil, suling sedang, klarinet dan saxophon
- Deretan tengah diisi oleh pemain korno terdiri dari krno C (do), korno D (re), korno E (mi), korno G (sol), korno A (la), korno B (si), dan korno C” (do tinggi).
- Deretan belakang terdiri dari pemegang Tuba, Oferton, kapuraca, Bass, Tambur, snar, dan simbal.
Musik bambu umumnya hanya dapat
memainkan lagu dalam 1 (satu) tangga nada, misalnya kunci “C” (C=1=do)
atau kunci “D” (D=1=do). Tapi karena musik bambu Minahasa bertangga
nada diatonis maka musik inipun menjadi musik universal yang bisa
memainkan segala jenis lagu. Mulai dari lagu daerah, lagu rohani
gereja, hingga lagu perjuangan. Bahkan jenis-jenis lagu seperti Mars,
Waltz, tango, rumba, dan cha cha pun dapat dimainkannya.
Tidak mengherankan jika musik bambu juga
hadir dalam perhelatan-perhelatan resmi pemerintah, baik di daerah
maupun di pusat. Bahkan ketika ABRI belum memiliki korps musik di tahun
1945, putra-putra kawanua yang tergabung dalam Orkes Musik Bambu
Pemadam Kebakaran Cideng lah yang mengiringi parade angkatan bersenjata
di Lapangan IKADA. Sedangkan grup Musik Bambu yang pernah tampil pada
peringatan detik-detik proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Negara di
antaranya Grup Musik Bambu Seng Klarinet “Metuari Maesa” Jakarta pada 17
Agustus 2004.
Bass Raksasa (http://www.metuarimaesa.blogspot.com) |
Lalu pada 30 Januari 2007, Panitia
Festival Seni Budaya Sulawesi Utara bekerjasama dengan Bp. Benny J.
Mamoto dari Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, RM Luntungan (Bupati
Minahasa Selatan), dan Management Megamas berhasil membuat terompet
terbesar. Terompet yang menjadi salah satu alat pendukung Musik Bambu
Seng Klarinet ( Bass ) itu memiliki panjang 32 meter, Diameter 5,20
meter dan Keliling Lingkaran 6,80 meter. Dengan ukurannya yang super
besar itu, terompet yang dikerjakan oleh 16 orang selama 30 hari itu
pun memperoleh sertifikat MURI sebagai Terompet Raksasa.
(Sumber : http://acsujabodetabek.wordpress.com )
0 komentar:
Posting Komentar